Minggu, 18 Januari 2009

Tradisi Masyarakat di Indonesia

Kebudayaan, kata ini berasal dari dua kata budi dan daya. Budi artinya akal, daya artinya kekuatan, kemampuan, kesanggupan, tenaga.

Kalau dua kata ini digabung menjadi kebudayaan berarti hasil karya manusia atau buah tangan manusia. Dalam pengertian luas kebudayaan berarti segala hasil usaha manusia untuk melengkapi kebutuhannya dan mem-permudah kehidupan. Dalam kebudayaan tersebut menyangkut berbagai tradisi yang diciptakan dengan maksud untuk melengkapi kehidupan. Tradisi ini bisa berupa ritual-ritual, tata krama atau sopan santun yang mengatur hubungan antar manusia dan lain sebagainya, yang pada pokoknya segala “human made”.

Tradisi bisa lahir dari sebuah agama yang telah membudaya dalam suatu masyarakat. Bisa terjadi walaupun secara sosial politis suatu agama sudah punah tetapi tradisi yang lahir dari agama tersebut masih hidup, masih terselenggara dalam masyarakat. Sering terjadi sebuah tradisi yang lahir dari suatu agama mengandung unsur-unsur okultisme. Namun tidak semua tradisi mengandung okultisme sehingga patut dihindari.

Harus diakui bahwa terdapat tradisi-tradisi yang muncul sebagai upaya manusia menyelesaikan masalah-masalah hidup yang tidak dapat mereka selesaikan secara wajar. Biasanya masalah-masalah tersebut adalah hal-hal yang melampaui kekuatan umum; misalnya menghadapai sungai yang selalu meluap, kelompok masyarakat tertentu memberi sesajen kepada “penunggu” sungai agar tidak meluapkan airnya. Tradisi merupakan usaha manusia melengkapi diri guna menyelesaikan masalah-masalah hidup. Kemajuan tekhnologi dan pendidikan masyarakat menyebabkan tradisi-tradisi yang tidak logis akan musnah. Namun kenyataannya di Indonesia hal tersebut juga tidak mudah terjadi. Hal ini bukan saja disebabkan karena ada masyarakat kita yang masih berpendidikan rendah tetapi ternyata banyak tradisi yang berakar kuat dalam masyarakat terutama di beberapa daerah tertentu.

Dalam pelayanannya, gereja-gereja di Indonesia menghadapi masalah yang cukup pelik, yaitu tradisi yang sudah terlanjur mengakar dalam kehidupan masyarakat. Bermacam-macam tradisi tersebut mewarnai kehidupan masyarakat Kristen pula. Banyak tradisi yang sudah terlanjur terselenggara dalam kehidupan masyarakat juga dilingkungan orang percaya, padahal tradisi-tradisi tersebut adalah tradisi-tradisi yang bertentangan dengan iman Kristen atau tidak berjiwa Alkitab, sementara kehidupan jemaat sudah menyatu dengan tradisi-tradisi tersebut dan menjadi bagian integral dalam kehidupan. Banyak tradisi sudah menjadi hukum tak tertulis yang nyaris tak dapat ditinggalkan. Seseorang berani melanggar “hukum negara” atau hukum sipil tertulis tetapi tidak berani melanggar “hukum tradisi”. Hal ini mem-buktikan betapa kuatnya tradisi dalam masyarakat kita.

Gereja dihadapkan dengan realitas ini. Bagaimana gereja menyikapi masalah tersebut menjadi pokok pikiran kita yang harus serius kita gumuli. Hamba-hamba Tuhan belum menemukan pedoman yang jelas bagaimana harus bersikap terhadap tradisi di lingkungan gereja. Melalui tulisan ini saya mencoba mengemukakan sebuah pemikiran bagaimana bersikap terhadap tradisi yang ada di lingkungan gereja.

Kausalitas Kemajemukan dan Kuatnya Tradisi

Dengan mata terbuka kita dapat menemukan kausalitas mengapa begitu banyak tradisi di masyarakat kita ini dan kuatnya tradisi-tradisi tersebut bertahan dalam kehidupan masyarakat, juga di lingkungan gereja. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain:

1. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, banyak agama, banyak suku bangsa, budaya dan bahasa. Setiap agama dan suku bangsa memiliki tradisi khasnya masing-masing. Hal ini memperkaya jumlah tradisi yang ada lingkungan kita. Semakin banyak suku bangsa semakin banyak pula tradisi yang yang terselenggara. Gereja Tuhan di Indonesia melayani jemaat yang memiliki bermacam-macam latar belakang suku bangsa. Dengan demikian maka banyak pula tradisi-tradisi yang harus dihadapi Gereja Tuhan. Fakta lain adalah adanya masyarakat yang terisolir dari dunia luar, masyarakat yang memiliki tradisi yang tidak tersentuh oleh pengaruh dunia luar. Masyarakat seperti ini kalau menjadi orang Kristen sukar diubah. Para penginjil dan hamba Tuhan sering harus berbenturan dengan adat dan tradisi yang nyaris tak tertembus.

2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat sinkretis, artinya menerima berbagai ajaran agama dengan toleransi yang tinggi. Toleransi yang tidak terbatas ini membuka peluang tradisi yang tidak berjiwa Alkitab masuk ke dalam gereja. Filosofi yang sudah termasyarakat adalah: “Semua agama sama.“ “Tuhan satu hanya jalannya yang beda.” “Banyak jalan menuju Roma.” Filosofi ini sangat bertentangan dengan iman Kristen dan bisa membuka peluang tindakan pengkhianatan terhadap iman dan kesetiaan yang sejati kepada Kristus. Di lingkungan masyarakat Jawa, beberapa tradisi “kejawen” dianggap masih boleh dilestarikan. Padahal sangat besar kemungkinan tradisi kejawen tersebut warisan dari agama Hindu ??? Budha yang pernah berkibar di pulau ini.

3. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menjunjung tinggi budaya orang tua dan nenak moyang. Mengesampingkan tradisi yang sudah biasa diselenggarakan berarti pengkhianatan terhadap orang tua, nenek moyang dan masyarakat sesuku. Hal inilah yang mendorong beberapa orang Kristen masih berpegang kepada tradisi-tradisi orang tua yang sangat besar kemungkinan mengandung okultisme, misalnya bagi anak-anak yang mau melangsungkan pernikahan harus pergi dahulu kekuburan orang tua atau nenek moyang yang sudah meninggal untuk mohon ijin dan doa restu. Bila ada orang meninggal maka perlu mengadakan syukuran atau sejenisnya pada hari-hari tertentu, hari ke tujuh, hari ke empat puluh, ke setahun. Bahkan ada anggota gereja yang masih memelihara “meja abu”, yaitu penyembahan kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal.

Pemujaan kepada nenek moyang atau kepada orang tua yang sudah meninggal merupakan pelanggaran terhadap firman pertama. Pada dasarnya praktek dosa ini adalah memperlakukan nenek moyang atau orang tua yang sudah meninggal seperti perlakuan terhadap Allah, nenek moyang atau orang tua yang sudah meninggal dipuja dengan berbagai perbuatan dan ritual.

Ada berbagai macam motif yang menjadi latar belakang pemujaan kepada nenek moyang ini, antara lain: (a). Menghormati dan mencintai nenek moyang atau orang tua yang sudah meninggal. Mereka lakukan sebagai sikap berbuat bakti kepada mereka yang sudah meninggal. (b). Mengharapkan perlindungan dan pertolongan mereka dalam hidup ini agar terhindar dari bahaya, pencarian nafkah menjadi lancar, kesehatan terjaga, dan lain-lain. (c).Takut kalau-kalau arwah nenek moyang menjadi ancaman bagi yang masih hidup. Hal ini didorong oleh keyakinan bahwa arwah orang mati masih bergentayangan, kadang tidak terkendali dan membahayakan.

4. Jiwa mistis yang sudah terlanjur mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, juga dikalangan anak-anak Tuhan yang belum dewasa rohani. Pendidikan yang salah di masyarakat ini berlangsung secara berkesinambungan menciptakan “iman yang salah”. Iman yang salah itu misalnya : (a). Pada waktu sedang membangun rumah, maka harus ada “korban” yang disediakan misalnya memotong kambing atau ayam hitam. Tradisi yang lain adalah disediakannya “sesajen” diatas atap rumah yang sedang dibangun. (b). Kalau sering terjadi kecelakaan di suatu tempat, katakanlah di depan rumah maka perlu diadakan sesajen kepada “penunggu” jalan tersebut supaya jangan marah dan menyebabkan kecelakaan. (c). Juga dilestarikannya hari-hari pamali. Bila menikah atau pindah rumah perlu memilih hari-hari tertentu. (d) Kalau menempati rumah hendaknya tidak dilokasi “tusuk sate” dan lain-lain. Jiwa mistik yang tertularkan kepada kehidupan anak-anak Tuhan ini merupakan praktek hidup yang sangat bertalian dengan okultisme.

Praktek ini masih subur di kalangan gereja yang jemaatnya tidak diajar kebenaran secara tegas dan militan. Di Indonesia yang paling terkenal adalah perdukunan. Kepercayaan kepada kekuatan kuasa di luar Allah ini bermacam-macam bentuk dan prakteknya. Tetapi yang jelas kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang magis ini berlatar belakang pandangan tentang dunia dan pandangan tentang hidup menurut dinamisme yang berpangkal pada keyakinan bahwa orang-orang tertentu, benda-benda dan lain-lain mengandung daya kekuatan yang istimewa.

Ini adalah sebuah permainan kuasa kegelapan untuk membutakan mata manusia mengenal Allah yang benar. Manusia ber-paling kepada hal-hal magis berangkat dari kesadaran bahwa manusia membutuhkan sesuatu yang kuat di luar dirinya yang dapat menunjang atau menopang hidupnya. Secara khusus manusia membutuhkan hal-hal magis apabila manusia menemui persoalan hidup yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah, yaitu kebutuhan dan persoalan hidup di luar kemampuan manusia itu sendiri. Selanjutnya penggunaan hal-hal magis ini berlangsung terus turun temurun menjadi tradisi, sehingga magis telah menjadi suatu adat atau tata cara kehidupan yang tidak tertulis.

5. Masih ada jemaat yang berlatar belakang pendidikan yang rendah, sehingga mereka lebih mudah bertindak bukan dengan rasio modern, tetapi berpola pikir konservatif. Berbeda dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang memiliki pola berpikir akademis, dimana hal-hal yang tidak logis akan diabaikan. Tradisi-tradisi yang tidak logis yang tidak dapat diverifikasi secara sains akan ditinggalkan. Seperti misalnya tradisi orang Jawa yang menebar garam di atas atap rumah pada waktu hujan besar dimana petir sabung menyabung, akan menghindarkan rumah dari sambaran petir. Tradisi ini sangat tidak logis maka tradisi ini pasti ditinggalkan. Tetapi bagi mereka yang berpendidikan rendah, mereka lebih mudah melestarikan tradisi tersebut.

Takhayul-takhayul yang memiliki keterkaitan dengan agama suku dan bersifat okultisme akan mudah ditinggalkan oleh mereka yang berpikir secara rasional modern. Tetapi berbeda dengan mereka yang berpendidikan rendah, konservatisme membuat mereka mempertahankan apa yang takhayul dan tidak logis tersebut. Dalam kehidupan iman Kristen, tradisi harus selalu dipersoalkan, yaitu apakah suatu tradisi terselenggara sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan atau tidak. Etika mem-persoalkan mengenai yang baik dan buruk, ketaatan kepada hukum Allah, tentang dosa dan anugerah, sumber-sumber perbuatan kesusilaan dan motivasi kegiatan-kegiatan di masyarakat. Di sini etika memandu jemaat untuk berjalan dalam kebenaran Allah dan tidak menyimpang dari kehendak-Nya.

SIKAP YANG SALAH TERHADAP TRADISI

Bermacam-macam sikap yang telah ditunjukkan gereja terhadap tradisi. Sikap gereja terhadap tradisi adalah sikap yang bergerak. Suatu masa, gereja bersikap anti sama sekali terhadap tradisi, satu ketika gereja bersikap mendua (dualisme), di masa yang lain gereja menerima tradisi tanpa selektif dst. Bagaimana sikap gereja seharusnya dalam hal ini? Pada zaman kita sekarang terdapat polarisasi sikap gereja terhadap tradisi, hal ini disebabkan oleh bermacam-macam pandangan teologis gereja terhadap tradisi tersebut. Berikut ini beberapa sikap gereja yang keliru terhadap tradisi :

1. Sikap Negatif terhadap tradisi

Sikap negatif gereja terhadap tradisi ini sering disebut sebagai sikap antagonistis. Sikap ini berpijak pada pendirian bahwa tidak akan ada titik temu antara iman Kristen dan tradisi. Ini adalah sikap yang memandang tradisi sebagai tidak dapat ditolerir sama sekali dipandang dari kacamata iman Kristen. Semua tradisi kotor dan ternoda oleh dosa dan tidak akan dapat dipersekutukan dengan iman kristen. Tradisi menurut ajaran ini adalah lapangan iblis, pengungkapan dari dosa semata-mata dan produk pengaruh iblis.

Pandangan ini dapat ditemukan dalam sikap hidup beberapa orang Kristen dan kelompok Kristen sejak abad pertama sampai hari ini. Kelompok ini mempunyai kecen-derungan untuk melihat segala pengungkapan tradisi itu hanya sebagai dosa dan sebagai pengaruh iblis semata-mata. Bila dilihat dengan kaca mata Alkitab, di dalam banyak keadaan kita harus bersikap negatif dan berkata “tidak” terhadap tradisi, tetapi hal ini terjadi apabila kita dipertemukan dengan tradisi yang bertendensi kepada kerajaan anti Kristus dan pemberontakaan terhadap Allah, tradisi yang mengandung okultisme dan ajaran yang melawan Alkitab. Tetapi kita tidak boleh bersikap negatif semata-mata kepada semua tradisi yang ada. Gereja tidak boleh cukup puas dengan sikap negatif. Sikap antagonistis kurang menyadari bahwa tradisi bisa juga merupakan pengungkapan moral dan kebudayaan manusia yang tidak rusak sama sekali.

Dalam Roma 2:13-15 dinyatakan bahwa suara hati manusia juga bisa merupakan torat yang tertulis dalam diri manusia. Tradisi yang mengungkapkan suara hati yang benar tidak harus dimusnahkan, tetapi Kristus datang untuk memperbaharui tradisi yang ada dengan isi Kristiani. Tuhan Yesus tidak menghendaki kita keluar dari dunia ini, tetapi terpelihara dari yang jahat di tengah-tengah tradisi manusia. Dalam hal ini orang percaya dipanggil untuk tampil di tengah dunia sebagai terang dan garam dunia (Mat 5:13-16).

2. Sikap Menyesuaikan Diri

Sikap menyesuaikan diri dengan tradisi ini sering disebut sebagai sikap akomodasi. Sikap ini melahirkan etika situasi yang mencoba menerima tradisi secara sembrono. Penyesuaian ini kerap kali harus mengorbankan iman Kristen demi kepentingan tradisi yang ada. Sikap ini menunjukkan bahwa terdapat orang percaya yang kurang mema-hami pertentangan yang ada antara iman Kristen dan tradisi-tradisi yang memang benar-benar fasik. Harus diperhatikan bahwa banyak tradisi yang telah dicemari oleh dosa di mana iman Kristen tidak dapat dipersekutukan dengannya. Bila gereja memiliki sikap menyesuaikan diri tanpa batas maka sikap ini akan menelorkan teologia reduksi, pandangan teologia yang mengurangi beberapa pokok dalam Alkitab demi penyesuaiannya dengan tradisi.

Penganut sikap akomodasi tidak bersikap kritis terhadap tradisi. Mereka kurang menyadari bahwa Yesus disalibkan bagi manusia dalam tradisi-tradisinya. Yesus mati, juga oleh dan untuk tradisi itu, bahwa pemberitaan tentang Kerajaan Allah adalah juga merupakan panggilan supaya bertobat dari dosa dalam tradisi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa penganut sikap ini tidak/kurang menyadari adanya ketegangan antara iman Kristen dan berbagai tradisi, termasuk tradisi modern. Mereka menyesuaikan diri dengan segala yang dihidangkan oleh tradisi tanpa sikap curiga. Di Indonesia, orang-orang Kristen yang pada umumnya memiliki semangat toleransi terhadap agama, tradisi dan pola hidup masyarakat sekitar cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini nampak dari sikapnya yang berkeberatan mengenakan pola hidup Kristiani secara terang-terangan dan tegas demi menghindari penolakan golongan lain di masyarakat. Kecenderungan ini dapat mengarah kepada sinkretisme di mana dalam bermasyarakat, kita memberi kesan melalui sikap dan ucapan bahwa semua agama itu sama saja. Sebagai catatan harus ditambahkan di sini, bahwa sebagai orang percaya kita harus konsisten dengan pola hidup yang harus kita kenakan, sekalipun untuk itu kita harus menghadapi “tantangan” dari pihak lain. Orang percaya harus berani berkata “tidak” untuk menghindari sikap akomodasi ini. Sebaliknya, orang percaya dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia melalui “pola hidup” istimewa yang dimilikinya (Mat 5:13-16).

3.Sikap Menguasai Tradisi

Sikap dimana gereja menguasai tradisi ini disebut sebagai sikap dominasi. Mereka berpendapat bahwa dunia ini dalam segala sektornya harus tunduk kepada gereja, di dalamnya termasuk semua tradisi. Sikap ini secara tidak langsung menunjukkan pandangannya yang terlalu optimis terhadap dosa. Dosa dianggap ringan lalu terlampau memandang tinggi prestasi manusia yang sudah berdosa di bidang tradisi. Pandangan ini jelas menunjukkan bahwa mereka memandang ringan ketegangan antara Kerajaan Allah dan kerajaan kegelapan juga di dalam tradisi.

Jelas pandangan ini tidak memberitakan “pertobatan” melainkan sublimasi (pemuliaan) tradisi yang ada. Pandangan ini tidak menawarkan kelahiran kembali tetapi elevasi (pengangkatan) tradisi yang berdosa ke dalam suasana ketuhanan di bawah kekuasaan gereja. Gereja mencoba mengadopsi semua bentuk tradisi dan memberi warna baru atau mengisinya secara Kristiani. Memang terdapat tradisi yang tidak bertentangan dengan iman Kristen, tradisi seperti ini tidak harus dihindari, tetapi bukan berarti semua tradisi bisa diperlakukan demikian. Terdapat tradisi-tradisi yang bisa diisi dengan kekristenan tetapi ada tradisi yang memang tidak bisa diisi lagi dengan kekristenan, atau tidak dapat diwarnai dengan warna baru. Tradisi seperti itu harus dibuang.

4. Sikap Dualisme

Sikap ini mencoba memisahkan iman dari tradisi. Di satu pihak meyakini bahwa tradisi adalah produk manusia yang berdosa tetapi di pihak lain juga berpendapat bahwa tradisi tidak dapat dan tidak boleh dihindari. Di sini orang percaya dibawa kepada dua suasana atau lapangan hidup. Dalam hal ini nampak perpisahan antara iman dan tradisi. Mereka menerima seluruh tradisi tanpa sikap curiga tetapi juga tidak melepaskan kepercayaannya kepada Kristus. Sikap ini akan membentuk orang Kristen yang memiliki gaya hidup rangkap. Di satu pihak dalam kehidupan orang percaya terdapat kepercayaan kepada pekerjaan Allah di dalam Yesus Kristus, tetapi di pihak lain ada aktifitas tradisi yang tidak mempedulikan hukum-hukum-Nya.

Kehidupan Kristiani dari iman mereka kepada Allah tidak mempunyai pengaruh terhadap aktivitas tradisi mereka. Terdapat fakta empiris bahwa di antara bidang pekerjaan Allah dalam Kristrus Yesus dan bidang tradisi ada pertentangan menyolok yang tidak terelakkan. Sikap dualistis ini banyak kita temui di masyarakat sekitar kita dewasa ini. Satu sisi mereka menerima tradisi dengan segala manifestasinya tetapi sisi lain mereka tidak melepaskan keyakinan mereka kepada Kristus. Di sini iman dan tradisi berdiri sendiri-sendiri terpisah dan tidak saling mempengaruhi.

SIKAP YANG BENAR TERHADAP TRADISI

Dalam Yohanes 17:15, Tuhan Yesus tidak berdoa agar Bapa mengambil orang percaya dari dunia ini, tetapi agar Bapa memelihara orang percaya dari yang jahat. Kebenaran ini tidak bertentangan dengan pengertian gereja yang diambil dari asal kata ekklesia yang artinya dipanggil keluar dari dunia ini. Dipanggil keluar dari dunia ini bukan berarti memisahkan diri dari pergaulan seperti beberapa bidat Kristen yang selalu beranggapan bahwa kebudayan dan tradisi dipandang jahat, yang harus dihindari dan dijauhi. Maksud dipanggil keluar dalam 1 Petrus 2:9, menunjukkan bahwa orang percaya dipanggil untuk mengenakan pola hidup baru sebagai anak-anak terang dan tidak terlibat dalam perbuatan-perbuatan kegelapan, yaitu praktek hidup yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.

Gereja harus tetap ada di dalam dunia dan turut serta menyelenggarakan kehidupan, tetapi gereja harus menyelenggarakan kehidupan dalam kebenaran yang sesuai kehendak Tuhan dalam Firman-Nya. Gereja sebagai tubuh Kristus, yang mengemban mandat penginjilan dan pendewasaan (Mat 28:18-20), harus tetap hidup di tengah-tengah masyarakat.

Gereja tidak boleh terjebak dengan sikap-sikap keliru seperti yang telah dijelaskan di atas. Gereja tidak perlu dan tidak boleh selalu bersikap menentang tradisi, sebab bila gereja bersikap demikian maka gereja tidak memahami mandat budaya yang Allah percayakan kepada manusia. Gereja tidak boleh menyesuaikan diri dengan tradisi sebab bila demikian berarti gereja telah mengorbankan kemurnian iman Kristianinya. Harus dipahami bahwa dosa telah merusak berbagai segi kehidupan manusia, juga dalam penyelengaraan tradisi. Gereja tidak boleh menguasai tradisi, sebab dominasi dan supremasi gereja atas tradisi berarti tidak mengakui bahwa dosa sudah merusak kehidupan manusia dan ada tradisi yang memang tidak perlu dikuasai tetapi harus dibinasakan. Dalam hal ini bukan pula berarti bahwa gereja menjadi gentar terhadap pengaruh dosa dalam tradisi. Gereja harus waspada berjaga dan serius menghadapi musuh yang memang cukup licik dan tangguh.

Gereja tidak boleh bersikap dualisme terhadap tradisi sebab bila demikian maka gereja terjebak dengan sikap hipokrisi. Kebenaran haruslah merupakan kebenaran yang menerangi seluruh kehidupan, baik dalam lingkungan gereja maupun dalam lingkup di luar tembok gereja. Wilayah ruang ibadah orang percaya dan sikap devosinya kepada Tuhan adalah seluas dunia yang diarungi dan wilayah yang didiami. Dalam hal ini, tidak ada daerah netral di mana orang percaya bebas dari hukum Allah. Semua daerah adalah daerah tertib kehidupan yang berlandaskan kebenaran Firman Tuhan. Terhadap tradisi gereja harus bersikap analistis, selektif dan antisipatif.

Analistis berarti gereja harus menyelami dengan seksama benar penyelenggaraan suatu tradisi. Gereja harus membuka mata dan mengamati seteliti mungkin penyelenggaraan suatu tradisi. Dengan demikian, gereja tidak jatuh dalam pandangan naif yang miskin dan dangkal. Dalam hal ini, gereja harus didampingi oleh team pelayanan yang bukan saja ahli di bidang teologia tetapi juga orang-orang yang mengerti etnologi suatu suku. Dalam meneliti suatu gerak tradisi, gereja akan memperoleh data yang akurat kalau gereja didampingi “ahli-ahlinya”. Sering kita jumpai orang-orang yang terlibat dalam pelayanan banyak gereja selama ini adalah orang-orang yang dituntut untuk memahami Alkitab dan kecakapan melakukan pekerjaan-pekerjaan gerejani semata-mata. Sekarang, gereja harus membuka mata akan pentingnya melibatkan anggota-anggotanya yang memiliki pemahaman suatu tradisi dimayarakat.

Selektif berarti gereja harus dapat membedakan tradisi yang bertendensi kepada pemuliaan Allah atau kerajaan kegelapan. Dalam hal ini, gereja kemudian memilih produk tradisi apa yang sesuai dengan iman Kristen. Dalam hal ini gereja membutuhkan ketajaman dan kecerdasan rohani yang tinggi. Gereja harus memiliki karunia membedakan Roh. Dalam langkah ini, gereja harus dipandu Roh Kudus dan menyerah serta mengandalkan pimpinanNya.

Antisipatif berarti bahwa gereja harus aktif meluruskan, menguduskan tradisi, sejauh tradisi itu masih bisa diluruskan. Sikap dan gagasan ini berakar pada alasan teologis bahwa alam semesta ini karya agung Allah yang karena dosa memang rusak, tetapi Yesus datang untuk memulihkan. Tuhan Yesus datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan manusia di dalam segala sektor hidupnya.

Kebangkitan Yesus adalah dasar tradisi yang pada hakekatnya telah diperbaharui dan dikuduskan. Injil harus ditemukan sebagai mutiara berharga sehingga orang yang menemukan rela melepaskan segala sesuatu (Mat 13:44-45). Injil merupakan ragi yang mampu mengubah keadaan sekitar sesuai dengan unsur yang ada pada ragi tersebut. Dan Injil memiliki kuasa untuk ini. Bila gereja dalam sikap yang benar artinya mengerti Firman Kebenaran dan dalam tuntunan Roh Kudus, niscaya terang Injil mampu mengkhamiri tradisi yang masih bisa dikuduskan.

Sebagai orang percaya, kita harus bersikap analistis, selektif dan antisipatif sesuai dengan panggilan kita untuk menjadi terang dan garam dunia. Tuhan Yesus berjuang untuk pengudusan dunia dengan segala sektornya, dan orang percaya terpanggil untuk itu. Gereja secara kontinuitas dan konsisten mem-bimbing para jemaat-Nya yang adalah praktikan tradisi untuk menyelenggarakan hidup dalam terang Firman Tuhan. Oleh sebab itu gereja harus sungguh-sungguh membekali jemaat-Nya dengan kebenaran-kebenaran Firman Tuhan, supaya mereka tidak seperti anak yatim piatu yang berjalan tanpa panduan dan bimbingan. Pada akhirnya anak Tuhan memiliki irama hidup warga kerjaan sorga, itulah tradisinya.

Jemaat tidak bisa terlalu disalahkan kalau terpaksa harus berbuat salah dalam penyelenggaraan tradisi, sebab mereka memang tidak dibekali dengan kebenaran yang memampukan mereka menyelenggara-kan tradisi dalam terang Firman Tuhan. Untuk ini setiap anggota jemaat seharusnya sejak muda atau sejak dini telah diajar mengenal kebenaran Allah. Sehingga ketika saatnya anggota jemaat diperhadapkan kepada pengambilan keputusan etis dalam bidang-bidang hidup yang digumuli mereka, mereka sudah memiliki bekal untuk itu.

Penyelengaraan tradisi adalah gerak yang diperkenan oleh Allah sebab di sana Allah hendak berkomunikasi dengan manusia. Hal ini akan terealisir kalau dalam penyelengaraan hidup tersebut, manusia sebagai pelaku tradisi selalu meminta pimpinan-Nya. Sehingga ruang kerja manusia adalah rumah ibadah bagi Tuhan. Semua gerak dalam tradisi adalah devosi kepada Sang Khalik. Dalam hal ini yang penting adalah mengenal dengan benar Alkitab. Kebenaran yang termuat dalam Alkitab akan membuka mata kita untuk mengenali apakah suatu tradisi bertentangan dengan Alkitab atau tidak. Selanjutnya persekutuan dengan Tuhan yang membuahkan kesucian hidup memberikan kepekaan untuk dapat membedakan apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Roma 12:1-2; Mat 5:8).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar