Rabu, 14 Januari 2009

Aku Memberi Kelegaan

Percaya bahwa Tuhan berkuasa atas alam semesta, itu baik. Tetapi percaya bahwa Tuhan berkuasa atas hidup kita, itu lebih baik. Percaya bahwa Tuhan berkuasa atas segala kekuatan melahirkan mujizat. Tetapi percaya bahwa Tuhan berkuasa atas hidup kita, melahirkan ketaatan. Percaya Tuhan berkuasa atas segala kekuatan, membuka peluang kita memanfaatkan Tuhan, tetapi percaya bahwa Tuhan berkuasa atas hidup kita, membuka peluang Tuhan memanfaatkan kita.

Semakin kita terbelenggu di dalam Tuhan, semakin kita menikmati kemerdekaan. Semakin kita terbelenggu, terikat dan terpenjara oleh Tuhan, semakin kita menemukan kemerdekaan. Sebaliknya, semakin kita ingin merdeka dari Tuhan, semakin membuat kita mau suka-suka sendiri, semakin terbelenggu.

Pada dasarnya, kita adalah makhluk ciptaan-Nya. Sampai kapan pun kita akan menjadi hamba. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah menjadi tuan, sebab kita memang pelayan. Masalahnya, apakah kita mau menjadi hamba atau pelayan Tuhan, ataukah menjadi hamba atau pelayan Iblis. Kita tidak bisa berdiri di tengah-tengah, dan menunda untuk memiliki kebulatan tekad kepada siapa kita mengabdi, yaitu kepada siapa kita menyerahkan diri. Kita tidak boleh menunda untuk kehilangan hidup. Kehilangan hidup bagi Tuhan atau kehilangan hidup bagi Iblis.

Ketika kita mengambil keputusan untuk tidak mengambil keputusan, mengambang, atau menggantung. Pada saat itulah kita memberi diri untuk jauh dari rencana Allah, jauh dari cengkeraman Tuhan, jauh dari ikatan Tuhan. Itu berarti menggiring diri ke tempat yang salah.

Orang-orang yang telah memiliki komitmen, membulatkan tekad memberi diri, melayani, dan mengabdi bagi Tuhan. Sungguh, itu pun masih bisa tergeser dari posisi yang benar. Itu pun bisa tawar hati, lemah dan jatuh. Terlebih lagi seseorang yang tidak mempunyai tekad yang mantap, bulat dan solid menyerahkan hidupnya bagi Tuhan. Marilah kita memperkarakan hal ini dengan serius.

Ada orang-orang yang semestinya bisa menuntun dan mengajarkan kebenaran-kebenaran Tuhan kepada yang belum paham. Namun, karena telah menikmati posisi yang nyaman, menjadi kurang mempedulikan Tuhan dan pekerjaan-Nya. Terlanjur menjadi Sarjana, Master atau Doktor dalam theologia, tetapi karena belum dibelenggu Tuhan, keberadaannya menjadi berbahaya. Orang itu terlanjur menjadi hebat dengan posisi besar di gereja, atau dalam institusi lembaga-lembaga Kristen lainnya, sungguh berbahaya. Orang-orang yang telah dibelenggu dan serius mengikut Tuhan saja, masih terus menggeliat, meronta, dan mau mengambil kembali apa yang telah diserahkannya kepada Tuhan. Terlebih lagi orang-orang yang belum sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Sebab itu jangan menangis kalau saudara ditinggal pacar, dikhianati pasangan hidup, atau nama kita dirusak orang. Bahkan jika usaha dagang kita merugi, atau penyakit yang merongrong dan mengancam hidup. Tetapi, “Merataplah jika engkau menemukan liarnya jiwamu.” Ratapilah jika unsur-unsur pemberontakan kepada Tuhan itu masih ada dalam dirimu.

Sampai-sampai kita berkata, “Tuhan jika begini terus, bawa sajalah aku pulang ke rumah Bapa.” Jangan menangis untuk hal-hal yang fana, sia-sia dan membuang energi, tetapi merataplah tatkala engkau tidak menemukan adanya ketertundukan (submission) yang utuh kepada Tuhan dalam dirimu. Seperti yang dikatakan Tuhan Yesus saat memikul salib di sepanjang via Dolorosa. Dengan tubuh terkoyak karena cemeti yang ujungnya berkait besi, dan berhiaskan mahkota duri di kepala-Nya. Orang-orang banyak yang menyaksikan menangisi dan meratapi-Nya, tetapi Dia berkata, “Janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisi dirimu sendiri dan anak-anakmu” (Luk. 23:28).

Kita sebagai manusia adalah orang yang tidak sempurna, bahkan masih murid yang terus belajar. Syukur kalau sudah dianggap mahasiswa, tetapi yang jelas belum diwisuda. Selama kita belum diwisuda, belajarlah terus. Belajarlah firman Tuhan secara benar. Kapankah kita diwisuda? Nanti, ketika saatnya kita mati!

Sekali-kali, jangan mempersoalkan hal lain yang harus dikatakan minor. Jangan mempersoalkan hal-hal yang sebenarnya tidak utama. Yang terutama ialah, persoalkanlah diri kita di hadapan-Nya. Bagaimana kita hidup dalam ketertundukan kepada Tuhan, hingga kita bisa berkata, “Tuhan, Engkaulah hukumku.” Kalau hukum yang tertulis bisa ditafsirkan macam-macam, dan orang masih bisa membela diri. Tetapi kalau Tuhan yang menjadi hukum kita, sangat akurat. Lord, You are my law. Engkau-lah hukumku! Tidak ada gerak tubuh, fisik dan mulutku yang di luar kontrol-Mu, karena Engkau-lah Tuhan yang menjadi hukumku!

Setiap otot jiwa kita harus dilatih dan dibiasakan lentur. Manusia bisa kaya mendadak, tetapi manusia tidak bisa tunduk mendadak. Kaya, berpangkat dan terpandang secara mendadak itu bisa, karena pangkat dapat dibeli. Tetapi hati yang menunduk mendadak, itu tidak bisa. Membutuhkan waktu! Dalam sesaat kita bisa mengubah bibir dengan berkata: “Suka-suka-Mu Tuhan.” Itu mudah! Tetapi membuat hati ini lentur kepada Tuhan, tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Jika telah terlalu lama otot ketaatan dan ketertundukan ini tidak menguasai kita, maka yang harus dilakukan adalah memperkarakan diri ini di hadapan Tuhan dengan serius. Benar kalau datang kepada Tuhan seperti saat ini, kita harus menganggap tidak punya persoalan lain kecuali diri kita sendiri. Untuk tidak memberhalakan diri, kita harus menjadi manusia Allah, dengan standar manusia Allah. Sebagaimana manusia, kita jangan memanjakan perasaan. Sebagai manusia Allah, yaitu anak-anak Allah yang dilengkapi-Nya dengan hikmat dan kuasa, untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu, kita harus sampai dulu di perhentian ambisi, baru bisa dibentuk.

Pembacaan: Injil Matius 11:28-30.

Terlebih dulu kita harus memahami, apa yang dimaksud Tuhan dengan letih lesu dan berbeban berat. Tidak usah bertele-tele, sebab ini sangat beralasan, sederhana, alkitabiah dan jujur. Letih lesu dan berbeban berat itu adalah, hidup yang terikat dan terbelenggu, lemah dan tidak ada kebahagiaan. Ini suatu yang paradoksal. Ketika seseorang datang kepada Tuhan dengan letih lesu dan berbeban berat, Tuhan berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (ayat 28). Bagaimana caranya mendapatkan kelegaan itu, padahal kita sudah punya beban? Malah mau ditambah beban lagi, yaitu kuk di leher (ayat 29). Dibaca sekilas, sepertinya itu konyol. Tetapi kuk yang dipasang-Nya itu, justru membuat jiwa kita mendapat kelegaan.

Sebelum membaca ayat ini kita diberitahukan, kalau datang kepada Tuhan, bertindaklah seolah-olah hidup ini tidak mempunyai persoalan. Dari ayat ini sebenarnya ada satu yang tersirat, walau tidak tersurat secara eksplisit. Tuhan memindahkan beban atau malah menggandakan beban yang baru kepada kita.

Untuk mengerti kebenaran ini, maka kita harus memahami dulu apa itu kelegaan. Kelegaan dalam teks asli bahasa Yunani adalah anapauso. Kata ini sejajar dengan sabatton, sabat, atau berhenti dalam bahasa Ibrani. Seseorang tidak bisa belajar dari Tuhan, dalam hal ini hidup di dalam kedaulatan Allah, atau ketertundukan kepada Tuhan, tanpa dia berhenti. Dia harus berhenti dulu! Jika tidak, maka dia akan tetap dalam bebannya. Dia tidak akan bisa menikmati kelegaannya, maksudnya memindahkan beban berat yang dipikulnya.

Kenalilah didikan dan ajaran Bapa yang diteladankan-Nya, yaitu pengenalan akan Dia. Tuhan Yesus mengatakan “Bapa menyatakan kepada orang kecil” (Mat. 11:25). Kata kecil di sini merupakan misteri. Kecil bukan menunjukkan tubuh yang mungil, tetapi orang-orang yang sederhana. Kepada orang-orang sederhanalah Tuhan berkenan menyatakan ajaran-Nya, diri-Nya; oleh karenanya orang itu akan memperoleh kelegaan. Pendidikan, ajaran yang terus berkembang, dan tunduk taat karenanya.

Dalam Luk 16:11. Harta yang sesungguhnya adalah kebenaran Tuhan (aleitheia). Kalau harta masih diburu dan dikejar, maka Dia tidak bisa mengajar kita. Kita harus terlebih dulu tunduk pada kehendak-Nya. Kelegaan yang dimaksud Tuhan Yesus itu sangat bergantung pada diri kita sendiri. Kelegaan jangan salah dimengerti. Misalnya, karena sudah punya jodoh, pekerjaan atau hidup mapan. Kelegaan di sini adalah kelegaan yang datang dari Tuhan.

Kita yang telah mengenal firman-Nya, harus berani berkata: “Tuhan aku mau, aku serius mengikuti kehendak-Mu.” Kita telah sampai pada pendidikan yang Tuhan berikan. Dalam Yohanes 8:30-32 Tuhan Yesus menjelaskan, bahwa kalau kita tetap dalam firman-Nya, maka kita adalah benar-benar murid-Nya yang telah dimerdekakan. Jika sudah sampai di sini, berarti gereja-Nya sudah layak diwisuda.

Setiap orang punya bayangan hidup yang ideal. Sebagai seorang pendeta, pasti keinginannya mempunyai jemaat yang besar, gedung-gedung gereja dan perlengkapannya. Kelihatannya ini benar, tetapi itu juga salah. Kalau itu semua bukan bagiannya, tetapi hanya karena ambisi, akan tetap hidup dalam letih, lesu dan berbeban berat.

Barang siapa setia dalam perkara yang kecil dia akan mendapat perkara yang besar. Perkara kecil itu adalah soal uang, soal harta dunia, soal mamon. Kalau dalam hal harta saja kita gagal, apalagi untuk perkara yang besar.

Dalam Lukas 16:1-9, Tuhan Yesus memuji bendahara yang tidak jujur. Ini berbicara tentang persiapan sang bendahara sebelum dipecat. Dia telah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Ini tentunya sebuah figurasi. Dalam ayat 9 dikatakan, mengikat persahabatan dengan menggunakan Mamon yang tidak jujur. Ini bukan pelecehan, sebab Tuhan tetap menjadi tujuan utama, fokus kita. Sedang materi itu hanyalah alat, atau sarana yang dimanfaatkan. Jelas ini bukan pelecehan kehidupan. Jika nanti orang itu hidupnya tidak dapat ditolong oleh Mamon lagi, maka dia dapat diterima di kemah abadi Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar