Rabu, 14 Januari 2009

Pengenalan Terhadap Sepuluh Hukum Allah

Dekalog atau dasa titah atau sepuluh hukum Tuhan diberikan Tuhan kepada umat Israel di Horeb melalui hamba-Nya, Musa.

Bahasa Ibrani untuk dekalog adalah aseret had d’barim. Dekalog adalah kata yang diambil dari bahasa Yunani. ‘Deka’ (sepuluh) dan ‘log - logos’(kata). Jadi, ‘dekalog’ berarti sepuluh kata, sepuluh firman atau sepuluh perintah. Kesepuluh titah Tuhan ini terdapat dalam Keluaran 20:1-17 dan Ulangan 5:1- 21. Merupakan suatu yang penting untuk meninjau dekalog dari berbagai aspek, karena dengan memiliki pengertian yang benar terhadap dekalog kita akan dibawa untuk menggumuli dekalog dengan sikap hati yang benar pula.

Pembagian Sepuluh Hukum Allah

Dekalog yang terdiri dari sepuluh firman tersebut adalah butir-butir hukum Tuhan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Seluruhnya merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Pelanggaran terhadap salah satu butir hukum tersebut berarti melanggar keseluruhan dari hukum tersebut (Yak. 2:10). Dalam menerima butir-butir dekalog hendaknya kita tidak tergoda untuk mengubah susunannya atau menyatukan butir-butirnya. Namun jika ditinjau dari obyeknya, dekalog dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

(1) Bagian pertama terdiri dari hukum kesatu sampai keempat. Bagian ini merupakan hukum-hukum yang mengatur hubungan umat dengan Allah.

(2) Bagian kedua terdiri dari hukum kelima sampai kesepuluh. Bagian ini merupakan hukum-hukum yang mengatur hubungan antar sesama.

Pembagian ini janganlah dimengerti sebagai pembagian yang mutlak sebab hukum kesatu sampai keempat bukan hanya semata-mata mengatur hubungan antara Tuhan dan umat-Nya, tetapi berkaitan juga dengan hubungan antar umat itu sendiri. Ketaatan kepada hukum kesatu sampai ketiga sangat berpengaruh terhadap sikap hidup seseorang terhadap sesamanya. Hukum keempat mengenai hari Sabat, juga berkaitan dengan sikap para tuan terhadap budaknya. Sebab pada hari Sabat, umat bukan saja diwajibkan untuk bersekutu dengan Allah, tetapi juga memperlakukan budak-budaknya secara manusiawi. Sebaliknya, jika seseorang tidak memperdulikan hukum kelima sampai kesepuluh, maka secara tidak langsung ia akan merusak hubungannya dengan Allah yang memiliki hukum tersebut. Oleh sebab itu pembagian ini harus dimengerti sebagai pembagian secara relatif.

Spirit Ahli Taurat masa Kini

Ahli taurat seperti yang dijumpai pada zaman Yesus mungkin sudah tidak ada lagi. Tetapi jabatan semacam itu dengan fungsi yang sama ada pada jaman kita. Bila dicermati ternyata fungsi mereka sejajar dengan fungsi pendeta atau hamba Tuhan hari ini. Hamba Tuhan yang mungkin telah mengikuti pendidikan tertentu sehingga dianggap pantas mengajarkan isi kitab suci dan hukum-hukum Tuhan. Dapat dijumpai ternyata orang-orang ini ada yang memiliki roh yang sama seperti rohnya ahli-ahli taurat zaman Yesus. Adapun tanda-tanda roh ahli taurat itu antara lain:

Bila kita hubungkan pembagian di atas dengan penjelasan Tuhan Yesus kepada orang Farisi dalam Matius 22:34-40, terdapat dua hukum yang utama sebagai hukum di mana seluruh hukum taurat dan kitab para nabi bergantung. Hukum pertama berorientasi pada sikap umat kepada Allah dan hukum kedua berorientasi pada sikap manusia terhadap sesamanya. Kedua hukum di atas sebetulnya memiliki kesejajaran, maksudnya adalah bahwa hukum yang satu tidak lebih tinggi dari hukum yang kedua, sebab mustahil seseorang mentaati satu hukum dan mengabaikan yang lain. Oleh karena itu, Tuhan Yesus menjelaskan hubungan antara kedua bagian dekalog tersebut dengan kalimat “yang sama dengan itu” (Mat. 22:39)

Kalau hubungan antara umat dengan Allah diidentifikasikan sebagai agama, dan hubungan antara sesama umat diidentifikasikan sebagai etika, maka dalam hal ini kita menemukan kesatuan mutlak antara agama dan etika. Agama tidak dapat berdiri sendiri. Agama tidak dapat dipisah dari etika. Agama tanpa etika tidak menjadi agama, sebab mutu agama ditentukan oleh etikanya.

Maksud Allah Memberikan Sepuluh Hukum Allah

Hukum ini diberikan bukan sekedar supaya hati Allah dipuaskan kalau umat-Nya dapat menuruti kehendak-Nya, melainkan ada sesuatu yang lebih dalam dari itu, bahwa Allah yang adalah kasih (1 Yoh. 4:8) hendak menunjukkan dan memanifestasikan kasih tersebut secara konkret. Allah memberikan hukum-Nya agar umat dapat menikmati berkat-Nya. Inilah pernyataan kasih Allah yang konkret. Hukum-hukum yang Allah berikan menciptakan harmonisasi antara Allah dengan umat maupun antar umat itu sendiri. Tanpa harmonisasi umat tidak dapat menikmati segala kelimpahan rahmat-Nya.Oleh sebab itu untuk menerima segala kebaikan Tuhan, umat mutlak harus mengerti, menghayati dan mematuhi hukum-hukum-Nya.Karena dekalog diberikan untuk kebaikan umat-Nya, maka hendaknya umat menerima dekalog dengan sukacita. Sekalipun bentuk perintah dekalog negatif, di mana setiap butir perintah diawali dengan kata “jangan” tetapi maksudnya sangat positif. Oleh sebab itu titah-titah dalam dekalog adalah hukum positif.

Hubungan Sepuluh Hukum Allah dengan Umat Perjanjian Baru

Jangan sekali-kali kita berpendapat bahwa umat Perjanjian Baru tidak lagi membutuhkan dekalog, sebab zaman anugerah telah datang dan zaman Taurat telah berlalu. Dalam dekalog nampak kepada kita suatu cermin di mana kita dapat menemukan hati Allah, kehendak Allah yang kudus, kekal dan tidak berubah. Dekalog menunjuk kepada standar moral Allah yang juga harus dikenakan kepada manusia yang adalah gambar Allah. Standar moral ini merupakan tuntutan abadi Allah kepada semua manusia yang tidak pernah berhenti dan melaluinya manusia hendak digiring kepada anugerah Kristus.

Kristus telah membebaskan umat dari tuntutan hukum Taurat dan membenarkan umat bukan karena melakukan Taurat, tetapi karena korban penebusan-Nya. Namun bukan berarti umat Allah kemudian tidak perlu hukum. Kita bebas dari hukum Taurat dengan standard penafsiran dan penerapannya, tetapi kemudian kita masuk ke dalam hukum Kristus, yaitu pembenaran oleh korban-Nya, kemampuan oleh benih ilahi-Nya untuk taat kepada hukum (2 Pet. 1:3) yaitu hukum kesempurnaan-hukum yang telah digenapi (Yunani: plerosai; Inggris: to fullfil; Mat. 5:17). Oleh karenanya Tuhan menyampaikan panggilan-Nya kepada warga Kerajaan Sorga untuk sempurna seperti Bapa di sorga. Kesempurnaan ini juga termasuk mematuhi hukum yang telah digenapi tersebut.

Hubungan Sepuluh Hukum Allah dengan Mutu Hidup

Dekalog membawa manusia kepada citra Allah. Dalam hal ini, jelaslah bahwa seseorang yang mau mematuhi dekalog akan memiliki sebuah kehidupan yang bermutu. Dalam penjelasan Yesus kepada seorang pemimpin agama Yahudi yang mengingini sebuah kehidupan yang berkualitas, Tuhan Yesus menawarkan dekalog-Nya (Mrk. 10:17-21). Hidup kekal hendak menunjuk kehidupan yang berkwalitas. (Kata ‘kekal’ dalam ucapan pemimpin agama Yahudi itu bukan saja hendak menunjuk kepada hidup abadi di sorga tetapi juga mutu hidup saat ini).

Selanjutnya, bila berbicara mengenai mutu hidup yang selaras dengan rencana agung-Nya, yaitu menciptakan manusia segambar dengan Allah (Rom. 8:29), Tuhan Yesus harus memaparkan dekalog dengan interpretasi (penafsiran) yang tepat. Interpretasi yang tepat tersebut diformulasikan dengan kalimat yang diucapkan Tuhan Yesus sebagai: “Juallah segala milikmu, bagikan kepada orang miskin dan ikutlah Aku” (Mat.19:21). Kalimat ini dirumuskan Tuhan Yesus dalam Mat 7:12 “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Itulah kesempurnaan.Bahwa kita dipanggil untuk sempurna seperti Bapa, artinya melakukan dekalog yang telah menerima interpretasi baru.

Pada akhirnya umat Perjanjian Baru dapat mentaati firman pertama sampai kesepuluh bukan karena hukum itu sendiri (Gal. 5:18), tetapi karena telah menjadi karakter kita atau terpersonifikasikan dalam hidup kita. Selama kita hidup di dalam dunia, dekalog tetap menjadi panduan oleh pimpinan Roh Kudus yang membawa kita kepada kehendak Allah yang sempurna. Hal ini terjadi sebab selama kita hidup, pertumbuhan untuk mentaati dekalog adalah proses yang berlangsung seumur hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar