Minggu, 18 Januari 2009

Miskin Dihadapan Allah

Di dalam Matius 5 Yesus mengawali khotbah di bukit dengan ucapan bahagia. Ucapan bahagia yang pertama, yaitu Matius 5:3, berbunyi: ???Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga???.

Pada pasal 4, yaitu pasal sebelumnya, Yesus melakukan banyak sekali mukjizat dan perkara ajaib. Oleh karena perkara-perkara dan mukjizat yang ajaib tersebut, berbondong-bondong orang mengikuti Yesus. Perhatikanlah baik-baik teks Alkitab dalam bahasa Indonesia (LAI). Teks tersebut menggunakan kata “mengikuti” dan bukan “mengikut”. Kata tersebut merupakan terjemahan dari kata akoloutheo yang berarti (1) berada di jalan yang sama atau beriring-iringan; (2) dan menjadi murid.
Bila kita memperhatikan keseluruhan kisah, maka tepatlah bila diterjemahkan mengikuti dan bukan mengikut. Mengapa? Ternyata umumnya mereka mengikuti Yesus karena berbagai perkara yang mungkin timbul atau terjadi karena keajaiban-keajaiban yang Yesus kerjakan. Bukan karena jati diri Yesus yang sesungguhnya. Yesus justru memanfaatkan kerumunan orang banyak tersebut untuk memberitakan Kerajaan Allah. Dan Ia memulainya dengan kalimat di atas.
Kata “berbahagialah” berasal dari kata makarioi (Yunani) yang merupakan bentuk perpanjangan dari kata makar yang merupakan istilah puitis pada zaman itu. Maksudnya, kata makar banyak digunakan dalam dunia sastra puisi. Namun sesungguhnya, kata makar itu sendiri merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ma/me yang berarti tidak dan ker yang berarti takdir atau kematian yang tak terelakkan. Arti harafiahnya penggabungan kedua kata tersebut berarti bukan takdir yang menakutkan. Arti kata ini kemudian, setelah mengalami penggabungan, adalah antara lain: diberkati, bergembira, beruntung. Ketiga arti kata tersebut, walaupun berbeda, sesungguhnya mengarah kepada satu arti yang sama, yaitu menjelaskan keadaan yang positif yang dimiliki oleh seseroang yang memenuhi persyaratan. Persyaratannya dijelaskan kemudian.
“Orang yang miskin di hadapan Allah” merupakan persyaratan (prerequisite) untuk adanya atau dimilikinya keadaan beruntung tersebut. Dalam teks asli, kata yng diterjemahkan miskin di sini adalah ptokoi. Arti harafiah kata ini adalah peminta-minta atau pengemis. Namun, dalam teks Alkitab kita tidak dapat diterjemahkan secara harafiah atau literal menjadi “berbahagialah orang yang menjadi pengemis di hadapan Allah”. Tentu bila diterjemahkan demikian akan menjadi konyol. Tidak demikian.
Tetapi kata tersebut menjadi penegas atau penjelas keadan miskin yang dimiliki orang yang diucapkan oleh Tuhan Yesus. Kata ‘miskin’ tergolong dalam kata sifat abstrak, karena kata tersebut merupakan kata sifat yang bisa sangat relatif maknanya. Misalnya, seorang yang kaya raya bisa menilai dirinya miskin bila berhadapan dengan orang yang sangat kaya raya. Seorang yang berkecukupan bisa menilai dirinya miskin bila berhadapan dengan orang yang kaya raya. Orang yang hidupnya ala kadarnya akan merasa miskin bila berhadapan dengan orang yang berkecukupan. Orang yang hidupnya pas-pasan akan merasa miskin bila berhadapan dengan orang yang hidup ala kadarnya. Apalagi bila orang yang pas-pasan berhadapan dengan orang yang berkecukupan, kaya raya atau sangat kaya raya. Itulah yang dimaksudkan dengan relatif.
Tetapi di sini Yesus hendak memberikan suatu tolok ukur kemiskinan yang Ia hendak maksudkan sebagai persyaratan tadi. Miskin yang Tuhan Yesus maksudkan di sini adalah kemiskinan pada garis terendah. Adakah yang lebih miskin dari seorang peminta-minta? Pengemis jelas merupakan suatu status sosial terendah dalam struktur masyarakat manapun di belahan manapun di muka bumi ini. Tidak ada yang lebih miskin daripada seorang pengemis.
“Di hadapan Allah” ternyata merupakan penerjemahan tafsiran LAI. Ada kalanya suatu kata diterjemahkan secara harafiah atau literal, namun ada kalanya diterjemahkan dengan menggantikan kata, dengan maksud bahwa perubahan tersebut memberikan makna yang dapat lebih dimengerti oleh para pembacanya. Ternyata, dalam teks asli, yaitu teks Yunani, digunakan istilah to pneumati, yang berarti “di dalam roh.” Tidak ada frasa “di hadapan Allah” dalam teks asli. Namun, jelas bahwa artinya tidak menyimpang.
“Diberkatilah, bergembiralah, berbahagilah orang yang miskin sperti pengemis di dalam roh.” Itulah arti harafiahnya. Tetapi jelek terdengar dalam cita rasa bahas. Namun kita jadi mengerti lebih jelas apa yang Tuhan Yesus maksudkan.
1. Dari penjelasan di atas, jelas bahwa orang yang berbahagia yang Yesus maksudkan adalah orang-orang yang tidak berada di bawah pengaruh takdir (temasuk maut atau kematian) atau kesempatan dan kebetulan. Sebaliknya, ia dikuasai oleh oleh pemeliharaan Allah, di mana setiap langkah kehidupannya diarahkan untuk memperoleh kemuliaan yang tidak dapat binasa, yang kekal sifatnya. Ia diubahkan oleh kuasa menuju keserupaan dengan Allah. Meskipun mereka yang kepadanya Yesus ucapkan “berbahagialah”, yaitu para pengikutNya pada saat itu, dan juga kita sekarang ini belum memiliki kodrat ilahi, mereka dan juga kita sedang dalam perjalanan menuju ke sana.
2. Miskin dalam roh adalah orang yang secara mendalam memahami kemiskinan dan kehancuran rohaninya. Ptokoi yang secara harafiah berarti pengemis, berasal dari kata ptosso yang berarti gemetar karena ketakutan. Umumnya pengemis juga cenderung untuk selalu gemetaran, baik karena kelaparan permanen atau yang terus-menerus ia alami maupun karena orang-orang lain yang sangat bisa menganiaya dirinya tanpa sanggup memberikan perlawanan. Apalagi zaman sekarang, di muka bumi tercinta ini, nyawa sudah tidak berarti ??? apalagi atas orang-orang yang kecil seperti para pengemis.
Yang Yesus maksudkan di sini adalah kesadaran yang dimiliki oleh orang yang berhadapan dengan Allah. Menyadari sepenuhnya akan kekayaan yang sejati, yaitu Allah sendiri (karena Allah adalah satu-satunya kekayaan yang sejati), ia menjadi begitu gemetar akan kebutuhan bagi jiwanya. Ketika ia melihat Allah, maka ia melihat ternyata betapa miskinnya ia. Seperti seorang pengemis diperhadapkan dengan seorang raja. Gemetar karena ketakutan bahwa ia akan binasa tanpa keselamatan yang dari Allah. Ia menyadari bahwa ia memerlukan keselamatan dari Tuhan. Ia membutuhkan Tuhan itu sendiri, melebihi apapun. Orang yang merasakan ini dalam jiwanya, bagi Kristus, adalah orang yang berbahagia, karena ada jalan atau jembatan antara dirinya dengan Kerajaan Allah, sebagaimana yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus Kristus.
3. Sebaliknya, orang yang tidak melihat Allah dan Kerajaan Sorga sebagai kekayaan yang sesungguhnya, ia tidak akan menyadari bahwa ia miskin dan hancur secara rohani. Hal-hal lain yang justru mengisi jiwanya. Ia tidak peduli akan keselamatan dari Allah. Ia tidak membutuhkannya. Ia tidak butuh Tuhan. Bagi kita zaman sekarang, kita bisa saja menjadi orang Kristen, bahkan melayani Tuhan, tetapi jiwa kita tetap seperti itu, yaitu tidak butuh Tuhan. Bila kita demikian, kita tidak berbahagia. Kita justru akan takut, termasuk terhadap kematian, yang menjadi suatu hal yang pasti akan terjadi bagi setiap manusia. Kita menadi takut karena kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kehidupan di muka bumi ini.

1 komentar: