Kamis, 22 Januari 2009

Motivasi

Selama ini kita sering menyebut-nyebut kata motivasi. Biasanya kata motivasi dalam lingkungan Gereja dikaitkan dengan pelayanan atau pengiringan kepada Tuhan Yesus. Sebelum membahas hal kemurnian motivasi pelayanan, terlebih dahulu perlu ditinjau apa yang dimaksud dengan motivasi itu. Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang artinya bergerak. Kata movere memberikan impresi yang jelas atau menunjuk sesuatu yang aktif, dinamis dan juga bisa menunjukkan sesuatu yang berkembang atau progresif. Secara etimologis (asal usul kata); kata motivasi berasal dari kata motif, yang artinya dorongan, kehendak alasan atau kemauan. Maka motivasi adalah dorongan-dorongan (forces) yang membangkitkan dan menggerakkan kelakuan individu. Motivasi bukanlah tingkah laku, melainkan kondisi internal yang komplek, dan tidak dapat diamati secara langsung, akan tetapi mempengaruhi tingkah laku seseorang. Itulah sebabnya kita dapat melihat motivasi seseorang berdasarkan tingkah lakunya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didiskripsikan bahwa motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Deskripsi ini memiliki kesamaan dengan pengertian motivasi di atas bila ditinjau dari etimologinya, yaitu movere. Dengan penjelasan diatas ini dapatlah ditarik konklusi bahwa motivasi menunjuk kepada sikap hati yang menghasilkan suatu dorongan untuk berbuat sesuatu secara konkret. Itulah sebabnya dalam bukunya yang berjudul Teori Motivasi, penulisnya mengatakan bahwa motivasi menentukan kuat-lemahnya tingkah laku atau gerakan untuk mencapai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Pada dasarnya motivasi timbul karena dilandaskan pada kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi.

Seorang penulis buku lain mengatakan mengenai motivasi sebagai berikut: Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan. Sejajar dengan ungkapan pernyataan diatas, penulis lain juga mengatakan bahwa motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan. Motif yang dimaksud ialah daya dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Dalam ungkapannya tersebut hendak menekankan bahwa motivasi merupakan proses yang menggerakkan sebuah kegiatan atau proyek demi tercapainya sebuah tujuan tertentu dengan melahirkan atau menciptakan motif-motif lain sebagai pendukungnya.

Berkenaan dengan tujuan yang hendak dicapai dalam motivasi, seorang penulis buku mengenai motivasi dari Barat mengatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya rasa dan tanggapan terhadap adanya tujuan. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa motivasi sangat berkorelasi dengan tujuan. Jika tidak ada motivasi maka tujuannya pun tidak jelas. Disini nyatalah bahwa motivasi adalah daya penggerak yang telah diaktifkan.

Fenomena ini ditegaskan oleh pendapat tokoh pemikir yang bernama Callahan dan Clark bahwa motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Jadi berbicara mengenai kemurnian motivasi, maka hendak dijabarkan mengenai motivasi yang seharusnya dimiliki seorang anak Tuhan dan pelayan Tuhan dalam Gereja Tuhan. Tidak ada motivasi lain dalam hidup kita kecuali mengenal Dia untuk mengabdi kepadaNya. Diluar hal ini berarti pemberontakan dan menuju kebinasaan, api kekal.

Selasa, 20 Januari 2009

Yesus Kristus

Ada banyak serangan yang ditujukan kepada iman Kristen, tetapi bagian yang paling diserang dalam kekristenan adalah mengenai iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Orang-orang diluar kekristenan memandang Yesus hanya sebagai salah seorang nabi saja (Islam), Yesus hanyalah ciptaan Allah yang luar biasa (saksi Yehovah), Yesus hanyalah seorang tokoh agama dengan pengajaran moral yang tinggi (Mahatma Gandhi). Apa pandangan kita tentang Kristus, sangat menentukan pengalaman rohani kita dalam bersekutu denganNya.

Topik Yesus Kristus ini akan membantu kita untuk memahami siapa Yesus Kristus yang sebenarnya seperti yang dikatakan oleh Alkitab. Apakah Yesus sudah ada sebelum dunia ini ada? Apakah Dia hanya manusia biasa atau Tuhan? Gelar-gelar apa yang dimiliki oleh Yesus Kristus?

II. ISTILAH

Yesus merupakan bentuk nama Yunani dari Yosua yang artinya "Yahweh adalah penolong atau Tuhan memberi kelepasan". Dalam Matius 1:12 sangat jelas disitu pernyataan malaikat bahwa Yesus berarti seseorang yang akan menyelamatkan atau melepaskan bangsaNya dari dosa.

Kristus merupakan istilah Yunani yang artinya sama dengan Mesias (Ibrani) yaitu "yang diurapi". Yesus disebut Kristus atau Mesias karena Dia diurapi oleh Allah untuk menjadi penyelamat bagi manusia yang berdosa dengan membebaskan mereka dari keberdosaannya.

Dari dua pengertian yang sudah dijelaskan diatas secara terpisah tentang arti Yesus dan Kristus, maka jelaslah dari artinya, bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang memberi kelepasan kepada manusia melalui kehadiranNya di dunia ini dengan kerelaanNya untuk mati diatas salib menebus manusia yang berdosa.

III. YESUS KRISTUS SUDAH ADA SEBELUM DILAHIRKAN

Mungkin judul ini membingungkan saudara, sebab bagaimana mungkin Yesus sudah ada sebelum Dia dilahirkan oleh Maria di Betlehem kira-kira 2000 tahun yang lalu. Namun jika kita memahami Alkitab dengan cermat, kita akan menemukan penjelasan Alkitab tentang keberadaan Kristus bahwa Dia bukan saja sudah ada sebelum dilahirkan tetapi sudah ada bahkan sebelum dunia dijadikan. Tuhan Yesus terlibat dalam penciptaan bumi, langit dan segala isinya (Yoh 1:3 ; Kolose 1:16 ; Ibrani 1:2). Yesus disebut juga Bapa yang Kekal (Yesaya 9:5). Yesus menyatakan bahwa Ia sudah ada sebelum Abraham ada (Yohanes 8:58).

IV. YESUS KRISTUS ADALAH ALLAH YANG MENJELMA MENJADI MANUSIA

Kita tidak dapat menerima jika ada manusia yang dapat jadi Allah. Tetapi tidaklah mustahil jika Allah menjelma menjadi manusia. Hal itu yang terjadi dengan Yesus. Alkitab menggunakan istilah Firman yang menjadi daging (Yohanes 1:14) untuk menunjukkan penjelmaan Allah menjadi manusia Yesus Kristus. Sebagai Allah yang menjelma menjadi manusia, maka Yesus dilahirkan dengan tubuh manusia ( Lukas 2:52; Yohanes 8:40), memilki jiwa dan roh manusia (Matius 26:38 ; Lukas 23:46), merasa lapar dan haus (Matius 4:2 ; Yohanes 19:28), merasa lelah (Yohanes 4:6), bersedih (Yohanes 1:35) dan Yesus diuji (Ibrani 4:15).

Perjanjian Lama sudah menubuatkan tentang kedatangan Kristus sebagai manusia, yakni tentang:

KelahiranNya (Yesaya 7:14 ; Mikha 5:1)

NamaNya (Yesaya 9:5)

JabatanNya (Nabi, Ulangan 18:18 ; Imam, Mazmur 110:4 ; Raja, Bilangan 24:17)

Penderitaan dan kematianNya (Yesaya 50:6 ; Mazmur 22:19 ; 16:30)

KebangkitanNya (Yesaya 53:10)

KenaikanNya ke sorga (Mazmur 68:19)

Pertanyaan penting untuk dijawab adalah mengapa Allah harus menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus? Ada beberapa alasan mengenai penjelmaan ini, yakni:

Kehadiran Kristus di dunia ini adalah untuk menyingkapkan Allah itu kepada manusia (Yohanes 1:18 ; 14:7-11)

Kehidupan Kristus di dunia ini bagi kita orang percaya merupakan suatu teladan untuk dituruti (I Petrus 2:21 ; I Yohanes 2:6)

Kristus datang ke dunia ini untuk mati di atas kayu salib menjadi tebusan bagi manusia yang berdosa. Yesus menjadi juruselamat manusia- Allah supaya kita yang percaya diselamatkan (Ibrani 10:1-10)

Kedatangan Kristus adalah juga untuk memusnahkan pekerjaan Iblis (I Yohanes 3:8)

Kristus datang ke dunia untuk menjadi seorang Imam besar yang merasakan kelemahan manusia (Ibrani 4:14-16)

V. KEALLAHAN YESUS KRISTUS

Yesus Kristus disebut Allah karena dalam diriNya terdapat hal-hal yang hanya dimiliki oleh Allah saja. Alkitab menunjukkan tentang beberapa sifat Allah di dalam diri Yesus dan juga hal-hal yang hanya dapat dilakukan oleh Allah, yakni:

Kekekalan. Yesus mengaku sudah ada sejak kekal (Yohanes 8:58)

Mahahadir. Yesus menyatakan Ia hadir dimana-mana (Matius 18:20 ; 28:20)

Mahatahu. Yesus mengetahui hal-hal yang tersembunyi (Matius 16:21 ; Lukas 6:8 ; Yohanes 4:29)

Mahakuasa. Yesus menyatakan kekuasaanNya sebagai Allah (Markus 5:11-15 ; Yohanes 11:38-44)

Mengampuni dosa (Markus 2:1-12)

Membangkitkan orang mati (Yohanes 11:43)

Menghakimi semua orang (Yohanes 5:22)

Keallahan Yesus juga ditunjukkan oleh gelar-gelar yang dimilikiNya; misalnya sebagai Anak Allah yang dalam pengertian orang Yahudi Yesus sama dengan Allah (Yohanes 10:36) dan gelar Tuhan yang merupakan persamaan dengan istilah Yahweh dalam Perjanjian Lama yang menunjuk kepada Allah (Matius 22:43-45), Yesus sebagai Allah (Yoh
1:1 ; 20:28 ; Ibrani 1:8) dan Raja diatas segala raja dan Tuhan di atas segala Tuhan (Wahyu 19:16).

Senin, 19 Januari 2009

Dosa

PENDAHULUAN
Pemahaman tentang dosa merupakan salah satu hal penting dalam iman Kristen. Ada orang Kristen yang meskipun sudah bertahun-tahun mengikut Kristus, tetapi terus hidup di dalam dosa.

Ada orang Kristen yang walaupun sudah bertobat dan percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat hidupnya, namun dia tetap merasa disiksa oleh rasa bersalah karena dosa-dosa masa lalunya. Ada beberapa orang Kristen berpendapat bahwa ketika seseorang masih kecil, maka segala dosa ditanggung oleh orangtuanya dan orang tersebut baru dapat bertanggung jawab terhadap dosanya sendiri, setelah mengikuti suatu acara gereja tertentu (sidi gereja).

Apa ajaran Alkitab tentang dosa? Apa yang dimaksud dengan dosa warisan? Apa yang dimaksud dengan dosa-dosa pribadi? Penjelasan di bawah ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan penting mengenai dosa, sehingga pemahaman ini akan menolong kita memiliki sikap yang sesuai dengan Firman Tuhan terhadap dosa.

II. ISTILAH

Dalam Perjanjian Lama kita dapat menemukan delapan kata dasar yang menunjuk tentang dosa. Kata-kata yang dimaksud adalah:

Khata :"tidak mengenai sasaran" (Keluaran 20:20; Amsal 8:36).

Ra :"menghentikan/ menghancurkan" (Kejadian 3:5; 38:7).

Pasha :"memberontak" (1 Raja-raja 12:9; Yesaya 1:2).

Awon :"perbuatan salah" (1 Samuel 3:13).

Shagag :"menyimpang" (Yesaya 28:7).

Asham :" dosa yang berhubungan dengan korban persembahan" (Imamat 4:13; 5:2-3).

Rasha :"kejahatan" (Keluaran 2:13; Mazmur :17).

Taah :"sengaja melakukan dosa" (Bilangan 15:22; Mazmur 58:4; Yesaya 53:6).

Dalam Perjanjian Baru ada dua belas istilah yang diterjemahkan dengan dosa, yakni:

Kakos :"buruk/ tidak baik" (Matius 21:41; Markus 7:21; Kisah para Rasul 9:13).

Ponkros :"kejahatan moral" (Matius 7:11; Kisah para Rasul 17:5; Roma 12:9).

Asebes :"hidup tanpa Allah" (Roma 1:18; 1 Timotius 1:9).

Enokhos :"kesalahan" (Matius 5:21-22; Markus 14:64).

Hamartia :"tidak bisa mencapai sasaran" (Matius 1:21; Yohanes 1:29).

Adikia :"tingkah laku yang tidak benar" (Roma 1:18; Lukas 16:9; Roma 6:13; 2 Tesalonika 2:10).

Anomos :"durhaka/ anti sosial" (Matius 13:41; 1 Timotius 1:9).

Parabates :"pelanggaran terhadap hukum" (Roma 3:23; Galatia 3:19).

Agnoein :"ibadah yang keliru" (Kisah para Rasul 13:27; Roma 2:4).

Planao :"menyimpang/ tersesat" (1 Petrus 2:25; Matius 24:5-6; 1 Yohanes 1:8).

Paraptoma :"pelangaran secara sengaja" (Roma 5:15-20; Matius 6:14; 2 Korintus 5:19).

Hipokrisis :"kemunafikan" (Galatia 2:11-21; 1 Timotius 4:2).

Dari berbagai istilah tentang dosa, baik yang terdapat dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru seperti yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dosa adalah : tidak mencapai sasaran, kebejatan, pemberontakan, kesalahan, memilih jalan yang tidak benar, kejahatan, penyimpangan, keadaan tidak beriman, perbuatan jahat, pelanggaran terhadap hukum dan kesengajaan meninggalkan jalan yang benar.

III. DOSA WARISAN

Semua manusia yang dilahirkan berada dalam keadaan berdosa. Pandangan yang menyatakan seolah-olah bayi dilahirkan dalam keadaan bersih tanpa dosa, tidaklah sesuai dengan Alkitab (Mazmur 51:7) Mengapa manusia sudah berdosa sejak dalam kandungan ibu? Hal ini dapat dijawab dengan memahami penjelasan tentang dosa warisan atau dosa awal.

Secara sederhana ada yang mengartikan dosa warisan sebagai suatu keberadaan yang diwarisi dari orang tua, orang tua mewarisi dari orang tua mereka, demikian seterusnya hingga sampai kepada Adam dan Hawa. Jadi dosa warisan dipahami sebagai dosa yang berasal dari Adam dan berakibat terjadinya kemerosatan moral dalam diri manusia yang ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dosa warisan itu membentuk tabiat dosa dalam diri manusia dan mempengaruhi pikiran : pikiran menjadi bejat dan tercela (Roma 1:28), dibutakan (2 Kor 4:4), pengertian gelap dan terpisah dari Allah (Efesus 4:18). Emosi manusia merosot dan tercemar (Roma 1:21,24,26; Titus 1:15). Kehendak diperbudak oleh dosa (Roma 6:20, 7:20).

Dosa warisan mengakibatkan manusia mengalami kematian secara rohani. Dengan kemampuan sendiri manusia tidak dapat berhubungan dengan Allah. Dosa telah memisahkan manusia dengan Allah (Efesus 2:1-3). Apabila kematian rohani ini tetap dialami oleh seseorang,maka pada waktu kedatangan Tuhan Yesus yang kedua untuk menghakimi semua manusia, orang tersebut akan mengalami kematian kekal (Wahyu 20:11-15).

Alkitab menunjukkan pengharapan kepada manusia yang ingin terbebas dari dosa warisan tersebut. Kematian Kristus diatas kayu salib sudah menebus dosa itu dan membebaskan orang yang percaya dari ikatan dan budak dosa (Roma 6:18; Galatia 5:24). Bersama dengan Kristus, hidup lama kita sudah tersalib dan kita hidup dalam hidup yang baru (2 Kor 5:17). Selain itu Roh Kudus yang berdiam dalam diri orang percaya, akan menyanggupkan kita untuk menang dari dosa dalam kehidupan sehari-hari.

IV. DOSA-DOSA PRIBADI

Dosa pribadi adalah dosa yang dilkukan seseorang. Setiap orang melakukan dosanya sendiri. Dosa-dosa pribadi ada yang diperbuat secara terang-terangan seperti berdusta (1 Yoh. 1:6) dan berbagai bentuk dosa yang secara khusus tertulis dalam Galatia 5:19-21; penyembahan berhala, sihir, perseteruan, irihati, amarah dan kepentingan diri sendiri. Ada juga dosa yang terjadi di dalam pikiran kita seperti ketamakan, perzinahan, (Matius 5:27-28; 2 Kor 10:5; Kolose 3:5-6).

Dalam Perjanjian Lama nampaknya ada penjelasan tentang penggolongan dosa. Maksudnya adalah dosa digolongkan sebagai dosa kebodohan dan dosa pemberontakan. Jadi ada dosa yang dianggap sebagai akibat dari kebodohan atau ketidaktahuan (Imamat 4:2) dan dosa yang dianggap sebagai pemberontakan (Bilangan 15:30-31). Dalam Perjanjian Baru, kita juga menemukan ayat yang membuat pembedaan antara dosa yang tidak dapat diampuni (Matius 12:31-32), dosa yang tidak mendatangkan maut dan dosa yang mendatangkan maut (1 Yohanes 5:16).

Akibat dari dosa-dosa pribadi itu adalah hilangnya persekutuan yang harmonis, baik dengan sesama manusia terjadinya kebencian, permusuhan, kepahitan) maupun dengan Allah (tertuduh dengan rasa bersalah, doa yang hambar dan hilangnya sukacita). Hal-hal ini dapat diatasi dengan kesadaran akan dosa itu dan menyelesaikannya dengan Tuhan dan sesama melalui pengampunan (Efesus 1:7) dan pengakuan (1 Yohanes 1:9).

V. PERJUANGAN ORANG PERCAYA TERHADAP DOSA

Tidaklah benar jika ada orang yang beranggapan bahwa seolah-olah orang yang sudah percaya kepada Kristus tidak lagi berbuat dosa. Haruslah diakui bahwa sebelum kita percaya kepada Kristus, hidup kita sudah terbiasa melakukan berbagai hal yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Kita sudah ahli dalam berbuat dosa. Setelah kita percaya, maka ada godaan dan tantangan yang kadangkala membuat kita menang tetapi bisa juga kalah dan kemudian melakukan dosa.

Alkitab memang menganjurkan tentang hidup dalam kekudusan (1Petrus 1:15), tetapi pemahaman kekudusan yang dimaksud, bukanlah hidup tanpa dosa, melainkan lebih kepada pemahaman hidup yang dewasa di dalam Kristus. Untuk menjadi dewasa di dalam Kristus, ukurannya adalah hidup dalam terang (1 Yohanes 1:7; 2:6; 3:24). Jika kehidupan Kristen kita seperti ini, maka kita akan menang terhadap dosa.

Agar supaya orang percaya tidak jatuh ke dalam dosa, maka ada beberapa hal penting untuk diperhatikan, yaitu:

Pergunakan senjata Allah untuk menghadapi berbagai tipudaya dan godaan dunia serta iblis. (Efesus 6:13-18).

Sadar dan waspada selalu (1 Petrus 5:8)

Menyalibkan kedagingan (sifat melawan Allah) dalam diri kita (Galatia 5:24)

Hidup kita penuh dengan Firman Tuhan, karena Firman itu berkuasa mencegah kita berbuat dosa (Mazmur 119:11).

Minggu, 18 Januari 2009

Miskin Dihadapan Allah

Di dalam Matius 5 Yesus mengawali khotbah di bukit dengan ucapan bahagia. Ucapan bahagia yang pertama, yaitu Matius 5:3, berbunyi: ???Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga???.

Pada pasal 4, yaitu pasal sebelumnya, Yesus melakukan banyak sekali mukjizat dan perkara ajaib. Oleh karena perkara-perkara dan mukjizat yang ajaib tersebut, berbondong-bondong orang mengikuti Yesus. Perhatikanlah baik-baik teks Alkitab dalam bahasa Indonesia (LAI). Teks tersebut menggunakan kata “mengikuti” dan bukan “mengikut”. Kata tersebut merupakan terjemahan dari kata akoloutheo yang berarti (1) berada di jalan yang sama atau beriring-iringan; (2) dan menjadi murid.
Bila kita memperhatikan keseluruhan kisah, maka tepatlah bila diterjemahkan mengikuti dan bukan mengikut. Mengapa? Ternyata umumnya mereka mengikuti Yesus karena berbagai perkara yang mungkin timbul atau terjadi karena keajaiban-keajaiban yang Yesus kerjakan. Bukan karena jati diri Yesus yang sesungguhnya. Yesus justru memanfaatkan kerumunan orang banyak tersebut untuk memberitakan Kerajaan Allah. Dan Ia memulainya dengan kalimat di atas.
Kata “berbahagialah” berasal dari kata makarioi (Yunani) yang merupakan bentuk perpanjangan dari kata makar yang merupakan istilah puitis pada zaman itu. Maksudnya, kata makar banyak digunakan dalam dunia sastra puisi. Namun sesungguhnya, kata makar itu sendiri merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ma/me yang berarti tidak dan ker yang berarti takdir atau kematian yang tak terelakkan. Arti harafiahnya penggabungan kedua kata tersebut berarti bukan takdir yang menakutkan. Arti kata ini kemudian, setelah mengalami penggabungan, adalah antara lain: diberkati, bergembira, beruntung. Ketiga arti kata tersebut, walaupun berbeda, sesungguhnya mengarah kepada satu arti yang sama, yaitu menjelaskan keadaan yang positif yang dimiliki oleh seseroang yang memenuhi persyaratan. Persyaratannya dijelaskan kemudian.
“Orang yang miskin di hadapan Allah” merupakan persyaratan (prerequisite) untuk adanya atau dimilikinya keadaan beruntung tersebut. Dalam teks asli, kata yng diterjemahkan miskin di sini adalah ptokoi. Arti harafiah kata ini adalah peminta-minta atau pengemis. Namun, dalam teks Alkitab kita tidak dapat diterjemahkan secara harafiah atau literal menjadi “berbahagialah orang yang menjadi pengemis di hadapan Allah”. Tentu bila diterjemahkan demikian akan menjadi konyol. Tidak demikian.
Tetapi kata tersebut menjadi penegas atau penjelas keadan miskin yang dimiliki orang yang diucapkan oleh Tuhan Yesus. Kata ‘miskin’ tergolong dalam kata sifat abstrak, karena kata tersebut merupakan kata sifat yang bisa sangat relatif maknanya. Misalnya, seorang yang kaya raya bisa menilai dirinya miskin bila berhadapan dengan orang yang sangat kaya raya. Seorang yang berkecukupan bisa menilai dirinya miskin bila berhadapan dengan orang yang kaya raya. Orang yang hidupnya ala kadarnya akan merasa miskin bila berhadapan dengan orang yang berkecukupan. Orang yang hidupnya pas-pasan akan merasa miskin bila berhadapan dengan orang yang hidup ala kadarnya. Apalagi bila orang yang pas-pasan berhadapan dengan orang yang berkecukupan, kaya raya atau sangat kaya raya. Itulah yang dimaksudkan dengan relatif.
Tetapi di sini Yesus hendak memberikan suatu tolok ukur kemiskinan yang Ia hendak maksudkan sebagai persyaratan tadi. Miskin yang Tuhan Yesus maksudkan di sini adalah kemiskinan pada garis terendah. Adakah yang lebih miskin dari seorang peminta-minta? Pengemis jelas merupakan suatu status sosial terendah dalam struktur masyarakat manapun di belahan manapun di muka bumi ini. Tidak ada yang lebih miskin daripada seorang pengemis.
“Di hadapan Allah” ternyata merupakan penerjemahan tafsiran LAI. Ada kalanya suatu kata diterjemahkan secara harafiah atau literal, namun ada kalanya diterjemahkan dengan menggantikan kata, dengan maksud bahwa perubahan tersebut memberikan makna yang dapat lebih dimengerti oleh para pembacanya. Ternyata, dalam teks asli, yaitu teks Yunani, digunakan istilah to pneumati, yang berarti “di dalam roh.” Tidak ada frasa “di hadapan Allah” dalam teks asli. Namun, jelas bahwa artinya tidak menyimpang.
“Diberkatilah, bergembiralah, berbahagilah orang yang miskin sperti pengemis di dalam roh.” Itulah arti harafiahnya. Tetapi jelek terdengar dalam cita rasa bahas. Namun kita jadi mengerti lebih jelas apa yang Tuhan Yesus maksudkan.
1. Dari penjelasan di atas, jelas bahwa orang yang berbahagia yang Yesus maksudkan adalah orang-orang yang tidak berada di bawah pengaruh takdir (temasuk maut atau kematian) atau kesempatan dan kebetulan. Sebaliknya, ia dikuasai oleh oleh pemeliharaan Allah, di mana setiap langkah kehidupannya diarahkan untuk memperoleh kemuliaan yang tidak dapat binasa, yang kekal sifatnya. Ia diubahkan oleh kuasa menuju keserupaan dengan Allah. Meskipun mereka yang kepadanya Yesus ucapkan “berbahagialah”, yaitu para pengikutNya pada saat itu, dan juga kita sekarang ini belum memiliki kodrat ilahi, mereka dan juga kita sedang dalam perjalanan menuju ke sana.
2. Miskin dalam roh adalah orang yang secara mendalam memahami kemiskinan dan kehancuran rohaninya. Ptokoi yang secara harafiah berarti pengemis, berasal dari kata ptosso yang berarti gemetar karena ketakutan. Umumnya pengemis juga cenderung untuk selalu gemetaran, baik karena kelaparan permanen atau yang terus-menerus ia alami maupun karena orang-orang lain yang sangat bisa menganiaya dirinya tanpa sanggup memberikan perlawanan. Apalagi zaman sekarang, di muka bumi tercinta ini, nyawa sudah tidak berarti ??? apalagi atas orang-orang yang kecil seperti para pengemis.
Yang Yesus maksudkan di sini adalah kesadaran yang dimiliki oleh orang yang berhadapan dengan Allah. Menyadari sepenuhnya akan kekayaan yang sejati, yaitu Allah sendiri (karena Allah adalah satu-satunya kekayaan yang sejati), ia menjadi begitu gemetar akan kebutuhan bagi jiwanya. Ketika ia melihat Allah, maka ia melihat ternyata betapa miskinnya ia. Seperti seorang pengemis diperhadapkan dengan seorang raja. Gemetar karena ketakutan bahwa ia akan binasa tanpa keselamatan yang dari Allah. Ia menyadari bahwa ia memerlukan keselamatan dari Tuhan. Ia membutuhkan Tuhan itu sendiri, melebihi apapun. Orang yang merasakan ini dalam jiwanya, bagi Kristus, adalah orang yang berbahagia, karena ada jalan atau jembatan antara dirinya dengan Kerajaan Allah, sebagaimana yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus Kristus.
3. Sebaliknya, orang yang tidak melihat Allah dan Kerajaan Sorga sebagai kekayaan yang sesungguhnya, ia tidak akan menyadari bahwa ia miskin dan hancur secara rohani. Hal-hal lain yang justru mengisi jiwanya. Ia tidak peduli akan keselamatan dari Allah. Ia tidak membutuhkannya. Ia tidak butuh Tuhan. Bagi kita zaman sekarang, kita bisa saja menjadi orang Kristen, bahkan melayani Tuhan, tetapi jiwa kita tetap seperti itu, yaitu tidak butuh Tuhan. Bila kita demikian, kita tidak berbahagia. Kita justru akan takut, termasuk terhadap kematian, yang menjadi suatu hal yang pasti akan terjadi bagi setiap manusia. Kita menadi takut karena kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kehidupan di muka bumi ini.

Tradisi Masyarakat di Indonesia

Kebudayaan, kata ini berasal dari dua kata budi dan daya. Budi artinya akal, daya artinya kekuatan, kemampuan, kesanggupan, tenaga.

Kalau dua kata ini digabung menjadi kebudayaan berarti hasil karya manusia atau buah tangan manusia. Dalam pengertian luas kebudayaan berarti segala hasil usaha manusia untuk melengkapi kebutuhannya dan mem-permudah kehidupan. Dalam kebudayaan tersebut menyangkut berbagai tradisi yang diciptakan dengan maksud untuk melengkapi kehidupan. Tradisi ini bisa berupa ritual-ritual, tata krama atau sopan santun yang mengatur hubungan antar manusia dan lain sebagainya, yang pada pokoknya segala “human made”.

Tradisi bisa lahir dari sebuah agama yang telah membudaya dalam suatu masyarakat. Bisa terjadi walaupun secara sosial politis suatu agama sudah punah tetapi tradisi yang lahir dari agama tersebut masih hidup, masih terselenggara dalam masyarakat. Sering terjadi sebuah tradisi yang lahir dari suatu agama mengandung unsur-unsur okultisme. Namun tidak semua tradisi mengandung okultisme sehingga patut dihindari.

Harus diakui bahwa terdapat tradisi-tradisi yang muncul sebagai upaya manusia menyelesaikan masalah-masalah hidup yang tidak dapat mereka selesaikan secara wajar. Biasanya masalah-masalah tersebut adalah hal-hal yang melampaui kekuatan umum; misalnya menghadapai sungai yang selalu meluap, kelompok masyarakat tertentu memberi sesajen kepada “penunggu” sungai agar tidak meluapkan airnya. Tradisi merupakan usaha manusia melengkapi diri guna menyelesaikan masalah-masalah hidup. Kemajuan tekhnologi dan pendidikan masyarakat menyebabkan tradisi-tradisi yang tidak logis akan musnah. Namun kenyataannya di Indonesia hal tersebut juga tidak mudah terjadi. Hal ini bukan saja disebabkan karena ada masyarakat kita yang masih berpendidikan rendah tetapi ternyata banyak tradisi yang berakar kuat dalam masyarakat terutama di beberapa daerah tertentu.

Dalam pelayanannya, gereja-gereja di Indonesia menghadapi masalah yang cukup pelik, yaitu tradisi yang sudah terlanjur mengakar dalam kehidupan masyarakat. Bermacam-macam tradisi tersebut mewarnai kehidupan masyarakat Kristen pula. Banyak tradisi yang sudah terlanjur terselenggara dalam kehidupan masyarakat juga dilingkungan orang percaya, padahal tradisi-tradisi tersebut adalah tradisi-tradisi yang bertentangan dengan iman Kristen atau tidak berjiwa Alkitab, sementara kehidupan jemaat sudah menyatu dengan tradisi-tradisi tersebut dan menjadi bagian integral dalam kehidupan. Banyak tradisi sudah menjadi hukum tak tertulis yang nyaris tak dapat ditinggalkan. Seseorang berani melanggar “hukum negara” atau hukum sipil tertulis tetapi tidak berani melanggar “hukum tradisi”. Hal ini mem-buktikan betapa kuatnya tradisi dalam masyarakat kita.

Gereja dihadapkan dengan realitas ini. Bagaimana gereja menyikapi masalah tersebut menjadi pokok pikiran kita yang harus serius kita gumuli. Hamba-hamba Tuhan belum menemukan pedoman yang jelas bagaimana harus bersikap terhadap tradisi di lingkungan gereja. Melalui tulisan ini saya mencoba mengemukakan sebuah pemikiran bagaimana bersikap terhadap tradisi yang ada di lingkungan gereja.

Kausalitas Kemajemukan dan Kuatnya Tradisi

Dengan mata terbuka kita dapat menemukan kausalitas mengapa begitu banyak tradisi di masyarakat kita ini dan kuatnya tradisi-tradisi tersebut bertahan dalam kehidupan masyarakat, juga di lingkungan gereja. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain:

1. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, banyak agama, banyak suku bangsa, budaya dan bahasa. Setiap agama dan suku bangsa memiliki tradisi khasnya masing-masing. Hal ini memperkaya jumlah tradisi yang ada lingkungan kita. Semakin banyak suku bangsa semakin banyak pula tradisi yang yang terselenggara. Gereja Tuhan di Indonesia melayani jemaat yang memiliki bermacam-macam latar belakang suku bangsa. Dengan demikian maka banyak pula tradisi-tradisi yang harus dihadapi Gereja Tuhan. Fakta lain adalah adanya masyarakat yang terisolir dari dunia luar, masyarakat yang memiliki tradisi yang tidak tersentuh oleh pengaruh dunia luar. Masyarakat seperti ini kalau menjadi orang Kristen sukar diubah. Para penginjil dan hamba Tuhan sering harus berbenturan dengan adat dan tradisi yang nyaris tak tertembus.

2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat sinkretis, artinya menerima berbagai ajaran agama dengan toleransi yang tinggi. Toleransi yang tidak terbatas ini membuka peluang tradisi yang tidak berjiwa Alkitab masuk ke dalam gereja. Filosofi yang sudah termasyarakat adalah: “Semua agama sama.“ “Tuhan satu hanya jalannya yang beda.” “Banyak jalan menuju Roma.” Filosofi ini sangat bertentangan dengan iman Kristen dan bisa membuka peluang tindakan pengkhianatan terhadap iman dan kesetiaan yang sejati kepada Kristus. Di lingkungan masyarakat Jawa, beberapa tradisi “kejawen” dianggap masih boleh dilestarikan. Padahal sangat besar kemungkinan tradisi kejawen tersebut warisan dari agama Hindu ??? Budha yang pernah berkibar di pulau ini.

3. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menjunjung tinggi budaya orang tua dan nenak moyang. Mengesampingkan tradisi yang sudah biasa diselenggarakan berarti pengkhianatan terhadap orang tua, nenek moyang dan masyarakat sesuku. Hal inilah yang mendorong beberapa orang Kristen masih berpegang kepada tradisi-tradisi orang tua yang sangat besar kemungkinan mengandung okultisme, misalnya bagi anak-anak yang mau melangsungkan pernikahan harus pergi dahulu kekuburan orang tua atau nenek moyang yang sudah meninggal untuk mohon ijin dan doa restu. Bila ada orang meninggal maka perlu mengadakan syukuran atau sejenisnya pada hari-hari tertentu, hari ke tujuh, hari ke empat puluh, ke setahun. Bahkan ada anggota gereja yang masih memelihara “meja abu”, yaitu penyembahan kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal.

Pemujaan kepada nenek moyang atau kepada orang tua yang sudah meninggal merupakan pelanggaran terhadap firman pertama. Pada dasarnya praktek dosa ini adalah memperlakukan nenek moyang atau orang tua yang sudah meninggal seperti perlakuan terhadap Allah, nenek moyang atau orang tua yang sudah meninggal dipuja dengan berbagai perbuatan dan ritual.

Ada berbagai macam motif yang menjadi latar belakang pemujaan kepada nenek moyang ini, antara lain: (a). Menghormati dan mencintai nenek moyang atau orang tua yang sudah meninggal. Mereka lakukan sebagai sikap berbuat bakti kepada mereka yang sudah meninggal. (b). Mengharapkan perlindungan dan pertolongan mereka dalam hidup ini agar terhindar dari bahaya, pencarian nafkah menjadi lancar, kesehatan terjaga, dan lain-lain. (c).Takut kalau-kalau arwah nenek moyang menjadi ancaman bagi yang masih hidup. Hal ini didorong oleh keyakinan bahwa arwah orang mati masih bergentayangan, kadang tidak terkendali dan membahayakan.

4. Jiwa mistis yang sudah terlanjur mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, juga dikalangan anak-anak Tuhan yang belum dewasa rohani. Pendidikan yang salah di masyarakat ini berlangsung secara berkesinambungan menciptakan “iman yang salah”. Iman yang salah itu misalnya : (a). Pada waktu sedang membangun rumah, maka harus ada “korban” yang disediakan misalnya memotong kambing atau ayam hitam. Tradisi yang lain adalah disediakannya “sesajen” diatas atap rumah yang sedang dibangun. (b). Kalau sering terjadi kecelakaan di suatu tempat, katakanlah di depan rumah maka perlu diadakan sesajen kepada “penunggu” jalan tersebut supaya jangan marah dan menyebabkan kecelakaan. (c). Juga dilestarikannya hari-hari pamali. Bila menikah atau pindah rumah perlu memilih hari-hari tertentu. (d) Kalau menempati rumah hendaknya tidak dilokasi “tusuk sate” dan lain-lain. Jiwa mistik yang tertularkan kepada kehidupan anak-anak Tuhan ini merupakan praktek hidup yang sangat bertalian dengan okultisme.

Praktek ini masih subur di kalangan gereja yang jemaatnya tidak diajar kebenaran secara tegas dan militan. Di Indonesia yang paling terkenal adalah perdukunan. Kepercayaan kepada kekuatan kuasa di luar Allah ini bermacam-macam bentuk dan prakteknya. Tetapi yang jelas kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang magis ini berlatar belakang pandangan tentang dunia dan pandangan tentang hidup menurut dinamisme yang berpangkal pada keyakinan bahwa orang-orang tertentu, benda-benda dan lain-lain mengandung daya kekuatan yang istimewa.

Ini adalah sebuah permainan kuasa kegelapan untuk membutakan mata manusia mengenal Allah yang benar. Manusia ber-paling kepada hal-hal magis berangkat dari kesadaran bahwa manusia membutuhkan sesuatu yang kuat di luar dirinya yang dapat menunjang atau menopang hidupnya. Secara khusus manusia membutuhkan hal-hal magis apabila manusia menemui persoalan hidup yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah, yaitu kebutuhan dan persoalan hidup di luar kemampuan manusia itu sendiri. Selanjutnya penggunaan hal-hal magis ini berlangsung terus turun temurun menjadi tradisi, sehingga magis telah menjadi suatu adat atau tata cara kehidupan yang tidak tertulis.

5. Masih ada jemaat yang berlatar belakang pendidikan yang rendah, sehingga mereka lebih mudah bertindak bukan dengan rasio modern, tetapi berpola pikir konservatif. Berbeda dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang memiliki pola berpikir akademis, dimana hal-hal yang tidak logis akan diabaikan. Tradisi-tradisi yang tidak logis yang tidak dapat diverifikasi secara sains akan ditinggalkan. Seperti misalnya tradisi orang Jawa yang menebar garam di atas atap rumah pada waktu hujan besar dimana petir sabung menyabung, akan menghindarkan rumah dari sambaran petir. Tradisi ini sangat tidak logis maka tradisi ini pasti ditinggalkan. Tetapi bagi mereka yang berpendidikan rendah, mereka lebih mudah melestarikan tradisi tersebut.

Takhayul-takhayul yang memiliki keterkaitan dengan agama suku dan bersifat okultisme akan mudah ditinggalkan oleh mereka yang berpikir secara rasional modern. Tetapi berbeda dengan mereka yang berpendidikan rendah, konservatisme membuat mereka mempertahankan apa yang takhayul dan tidak logis tersebut. Dalam kehidupan iman Kristen, tradisi harus selalu dipersoalkan, yaitu apakah suatu tradisi terselenggara sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan atau tidak. Etika mem-persoalkan mengenai yang baik dan buruk, ketaatan kepada hukum Allah, tentang dosa dan anugerah, sumber-sumber perbuatan kesusilaan dan motivasi kegiatan-kegiatan di masyarakat. Di sini etika memandu jemaat untuk berjalan dalam kebenaran Allah dan tidak menyimpang dari kehendak-Nya.

SIKAP YANG SALAH TERHADAP TRADISI

Bermacam-macam sikap yang telah ditunjukkan gereja terhadap tradisi. Sikap gereja terhadap tradisi adalah sikap yang bergerak. Suatu masa, gereja bersikap anti sama sekali terhadap tradisi, satu ketika gereja bersikap mendua (dualisme), di masa yang lain gereja menerima tradisi tanpa selektif dst. Bagaimana sikap gereja seharusnya dalam hal ini? Pada zaman kita sekarang terdapat polarisasi sikap gereja terhadap tradisi, hal ini disebabkan oleh bermacam-macam pandangan teologis gereja terhadap tradisi tersebut. Berikut ini beberapa sikap gereja yang keliru terhadap tradisi :

1. Sikap Negatif terhadap tradisi

Sikap negatif gereja terhadap tradisi ini sering disebut sebagai sikap antagonistis. Sikap ini berpijak pada pendirian bahwa tidak akan ada titik temu antara iman Kristen dan tradisi. Ini adalah sikap yang memandang tradisi sebagai tidak dapat ditolerir sama sekali dipandang dari kacamata iman Kristen. Semua tradisi kotor dan ternoda oleh dosa dan tidak akan dapat dipersekutukan dengan iman kristen. Tradisi menurut ajaran ini adalah lapangan iblis, pengungkapan dari dosa semata-mata dan produk pengaruh iblis.

Pandangan ini dapat ditemukan dalam sikap hidup beberapa orang Kristen dan kelompok Kristen sejak abad pertama sampai hari ini. Kelompok ini mempunyai kecen-derungan untuk melihat segala pengungkapan tradisi itu hanya sebagai dosa dan sebagai pengaruh iblis semata-mata. Bila dilihat dengan kaca mata Alkitab, di dalam banyak keadaan kita harus bersikap negatif dan berkata “tidak” terhadap tradisi, tetapi hal ini terjadi apabila kita dipertemukan dengan tradisi yang bertendensi kepada kerajaan anti Kristus dan pemberontakaan terhadap Allah, tradisi yang mengandung okultisme dan ajaran yang melawan Alkitab. Tetapi kita tidak boleh bersikap negatif semata-mata kepada semua tradisi yang ada. Gereja tidak boleh cukup puas dengan sikap negatif. Sikap antagonistis kurang menyadari bahwa tradisi bisa juga merupakan pengungkapan moral dan kebudayaan manusia yang tidak rusak sama sekali.

Dalam Roma 2:13-15 dinyatakan bahwa suara hati manusia juga bisa merupakan torat yang tertulis dalam diri manusia. Tradisi yang mengungkapkan suara hati yang benar tidak harus dimusnahkan, tetapi Kristus datang untuk memperbaharui tradisi yang ada dengan isi Kristiani. Tuhan Yesus tidak menghendaki kita keluar dari dunia ini, tetapi terpelihara dari yang jahat di tengah-tengah tradisi manusia. Dalam hal ini orang percaya dipanggil untuk tampil di tengah dunia sebagai terang dan garam dunia (Mat 5:13-16).

2. Sikap Menyesuaikan Diri

Sikap menyesuaikan diri dengan tradisi ini sering disebut sebagai sikap akomodasi. Sikap ini melahirkan etika situasi yang mencoba menerima tradisi secara sembrono. Penyesuaian ini kerap kali harus mengorbankan iman Kristen demi kepentingan tradisi yang ada. Sikap ini menunjukkan bahwa terdapat orang percaya yang kurang mema-hami pertentangan yang ada antara iman Kristen dan tradisi-tradisi yang memang benar-benar fasik. Harus diperhatikan bahwa banyak tradisi yang telah dicemari oleh dosa di mana iman Kristen tidak dapat dipersekutukan dengannya. Bila gereja memiliki sikap menyesuaikan diri tanpa batas maka sikap ini akan menelorkan teologia reduksi, pandangan teologia yang mengurangi beberapa pokok dalam Alkitab demi penyesuaiannya dengan tradisi.

Penganut sikap akomodasi tidak bersikap kritis terhadap tradisi. Mereka kurang menyadari bahwa Yesus disalibkan bagi manusia dalam tradisi-tradisinya. Yesus mati, juga oleh dan untuk tradisi itu, bahwa pemberitaan tentang Kerajaan Allah adalah juga merupakan panggilan supaya bertobat dari dosa dalam tradisi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa penganut sikap ini tidak/kurang menyadari adanya ketegangan antara iman Kristen dan berbagai tradisi, termasuk tradisi modern. Mereka menyesuaikan diri dengan segala yang dihidangkan oleh tradisi tanpa sikap curiga. Di Indonesia, orang-orang Kristen yang pada umumnya memiliki semangat toleransi terhadap agama, tradisi dan pola hidup masyarakat sekitar cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini nampak dari sikapnya yang berkeberatan mengenakan pola hidup Kristiani secara terang-terangan dan tegas demi menghindari penolakan golongan lain di masyarakat. Kecenderungan ini dapat mengarah kepada sinkretisme di mana dalam bermasyarakat, kita memberi kesan melalui sikap dan ucapan bahwa semua agama itu sama saja. Sebagai catatan harus ditambahkan di sini, bahwa sebagai orang percaya kita harus konsisten dengan pola hidup yang harus kita kenakan, sekalipun untuk itu kita harus menghadapi “tantangan” dari pihak lain. Orang percaya harus berani berkata “tidak” untuk menghindari sikap akomodasi ini. Sebaliknya, orang percaya dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia melalui “pola hidup” istimewa yang dimilikinya (Mat 5:13-16).

3.Sikap Menguasai Tradisi

Sikap dimana gereja menguasai tradisi ini disebut sebagai sikap dominasi. Mereka berpendapat bahwa dunia ini dalam segala sektornya harus tunduk kepada gereja, di dalamnya termasuk semua tradisi. Sikap ini secara tidak langsung menunjukkan pandangannya yang terlalu optimis terhadap dosa. Dosa dianggap ringan lalu terlampau memandang tinggi prestasi manusia yang sudah berdosa di bidang tradisi. Pandangan ini jelas menunjukkan bahwa mereka memandang ringan ketegangan antara Kerajaan Allah dan kerajaan kegelapan juga di dalam tradisi.

Jelas pandangan ini tidak memberitakan “pertobatan” melainkan sublimasi (pemuliaan) tradisi yang ada. Pandangan ini tidak menawarkan kelahiran kembali tetapi elevasi (pengangkatan) tradisi yang berdosa ke dalam suasana ketuhanan di bawah kekuasaan gereja. Gereja mencoba mengadopsi semua bentuk tradisi dan memberi warna baru atau mengisinya secara Kristiani. Memang terdapat tradisi yang tidak bertentangan dengan iman Kristen, tradisi seperti ini tidak harus dihindari, tetapi bukan berarti semua tradisi bisa diperlakukan demikian. Terdapat tradisi-tradisi yang bisa diisi dengan kekristenan tetapi ada tradisi yang memang tidak bisa diisi lagi dengan kekristenan, atau tidak dapat diwarnai dengan warna baru. Tradisi seperti itu harus dibuang.

4. Sikap Dualisme

Sikap ini mencoba memisahkan iman dari tradisi. Di satu pihak meyakini bahwa tradisi adalah produk manusia yang berdosa tetapi di pihak lain juga berpendapat bahwa tradisi tidak dapat dan tidak boleh dihindari. Di sini orang percaya dibawa kepada dua suasana atau lapangan hidup. Dalam hal ini nampak perpisahan antara iman dan tradisi. Mereka menerima seluruh tradisi tanpa sikap curiga tetapi juga tidak melepaskan kepercayaannya kepada Kristus. Sikap ini akan membentuk orang Kristen yang memiliki gaya hidup rangkap. Di satu pihak dalam kehidupan orang percaya terdapat kepercayaan kepada pekerjaan Allah di dalam Yesus Kristus, tetapi di pihak lain ada aktifitas tradisi yang tidak mempedulikan hukum-hukum-Nya.

Kehidupan Kristiani dari iman mereka kepada Allah tidak mempunyai pengaruh terhadap aktivitas tradisi mereka. Terdapat fakta empiris bahwa di antara bidang pekerjaan Allah dalam Kristrus Yesus dan bidang tradisi ada pertentangan menyolok yang tidak terelakkan. Sikap dualistis ini banyak kita temui di masyarakat sekitar kita dewasa ini. Satu sisi mereka menerima tradisi dengan segala manifestasinya tetapi sisi lain mereka tidak melepaskan keyakinan mereka kepada Kristus. Di sini iman dan tradisi berdiri sendiri-sendiri terpisah dan tidak saling mempengaruhi.

SIKAP YANG BENAR TERHADAP TRADISI

Dalam Yohanes 17:15, Tuhan Yesus tidak berdoa agar Bapa mengambil orang percaya dari dunia ini, tetapi agar Bapa memelihara orang percaya dari yang jahat. Kebenaran ini tidak bertentangan dengan pengertian gereja yang diambil dari asal kata ekklesia yang artinya dipanggil keluar dari dunia ini. Dipanggil keluar dari dunia ini bukan berarti memisahkan diri dari pergaulan seperti beberapa bidat Kristen yang selalu beranggapan bahwa kebudayan dan tradisi dipandang jahat, yang harus dihindari dan dijauhi. Maksud dipanggil keluar dalam 1 Petrus 2:9, menunjukkan bahwa orang percaya dipanggil untuk mengenakan pola hidup baru sebagai anak-anak terang dan tidak terlibat dalam perbuatan-perbuatan kegelapan, yaitu praktek hidup yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.

Gereja harus tetap ada di dalam dunia dan turut serta menyelenggarakan kehidupan, tetapi gereja harus menyelenggarakan kehidupan dalam kebenaran yang sesuai kehendak Tuhan dalam Firman-Nya. Gereja sebagai tubuh Kristus, yang mengemban mandat penginjilan dan pendewasaan (Mat 28:18-20), harus tetap hidup di tengah-tengah masyarakat.

Gereja tidak boleh terjebak dengan sikap-sikap keliru seperti yang telah dijelaskan di atas. Gereja tidak perlu dan tidak boleh selalu bersikap menentang tradisi, sebab bila gereja bersikap demikian maka gereja tidak memahami mandat budaya yang Allah percayakan kepada manusia. Gereja tidak boleh menyesuaikan diri dengan tradisi sebab bila demikian berarti gereja telah mengorbankan kemurnian iman Kristianinya. Harus dipahami bahwa dosa telah merusak berbagai segi kehidupan manusia, juga dalam penyelengaraan tradisi. Gereja tidak boleh menguasai tradisi, sebab dominasi dan supremasi gereja atas tradisi berarti tidak mengakui bahwa dosa sudah merusak kehidupan manusia dan ada tradisi yang memang tidak perlu dikuasai tetapi harus dibinasakan. Dalam hal ini bukan pula berarti bahwa gereja menjadi gentar terhadap pengaruh dosa dalam tradisi. Gereja harus waspada berjaga dan serius menghadapi musuh yang memang cukup licik dan tangguh.

Gereja tidak boleh bersikap dualisme terhadap tradisi sebab bila demikian maka gereja terjebak dengan sikap hipokrisi. Kebenaran haruslah merupakan kebenaran yang menerangi seluruh kehidupan, baik dalam lingkungan gereja maupun dalam lingkup di luar tembok gereja. Wilayah ruang ibadah orang percaya dan sikap devosinya kepada Tuhan adalah seluas dunia yang diarungi dan wilayah yang didiami. Dalam hal ini, tidak ada daerah netral di mana orang percaya bebas dari hukum Allah. Semua daerah adalah daerah tertib kehidupan yang berlandaskan kebenaran Firman Tuhan. Terhadap tradisi gereja harus bersikap analistis, selektif dan antisipatif.

Analistis berarti gereja harus menyelami dengan seksama benar penyelenggaraan suatu tradisi. Gereja harus membuka mata dan mengamati seteliti mungkin penyelenggaraan suatu tradisi. Dengan demikian, gereja tidak jatuh dalam pandangan naif yang miskin dan dangkal. Dalam hal ini, gereja harus didampingi oleh team pelayanan yang bukan saja ahli di bidang teologia tetapi juga orang-orang yang mengerti etnologi suatu suku. Dalam meneliti suatu gerak tradisi, gereja akan memperoleh data yang akurat kalau gereja didampingi “ahli-ahlinya”. Sering kita jumpai orang-orang yang terlibat dalam pelayanan banyak gereja selama ini adalah orang-orang yang dituntut untuk memahami Alkitab dan kecakapan melakukan pekerjaan-pekerjaan gerejani semata-mata. Sekarang, gereja harus membuka mata akan pentingnya melibatkan anggota-anggotanya yang memiliki pemahaman suatu tradisi dimayarakat.

Selektif berarti gereja harus dapat membedakan tradisi yang bertendensi kepada pemuliaan Allah atau kerajaan kegelapan. Dalam hal ini, gereja kemudian memilih produk tradisi apa yang sesuai dengan iman Kristen. Dalam hal ini gereja membutuhkan ketajaman dan kecerdasan rohani yang tinggi. Gereja harus memiliki karunia membedakan Roh. Dalam langkah ini, gereja harus dipandu Roh Kudus dan menyerah serta mengandalkan pimpinanNya.

Antisipatif berarti bahwa gereja harus aktif meluruskan, menguduskan tradisi, sejauh tradisi itu masih bisa diluruskan. Sikap dan gagasan ini berakar pada alasan teologis bahwa alam semesta ini karya agung Allah yang karena dosa memang rusak, tetapi Yesus datang untuk memulihkan. Tuhan Yesus datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan manusia di dalam segala sektor hidupnya.

Kebangkitan Yesus adalah dasar tradisi yang pada hakekatnya telah diperbaharui dan dikuduskan. Injil harus ditemukan sebagai mutiara berharga sehingga orang yang menemukan rela melepaskan segala sesuatu (Mat 13:44-45). Injil merupakan ragi yang mampu mengubah keadaan sekitar sesuai dengan unsur yang ada pada ragi tersebut. Dan Injil memiliki kuasa untuk ini. Bila gereja dalam sikap yang benar artinya mengerti Firman Kebenaran dan dalam tuntunan Roh Kudus, niscaya terang Injil mampu mengkhamiri tradisi yang masih bisa dikuduskan.

Sebagai orang percaya, kita harus bersikap analistis, selektif dan antisipatif sesuai dengan panggilan kita untuk menjadi terang dan garam dunia. Tuhan Yesus berjuang untuk pengudusan dunia dengan segala sektornya, dan orang percaya terpanggil untuk itu. Gereja secara kontinuitas dan konsisten mem-bimbing para jemaat-Nya yang adalah praktikan tradisi untuk menyelenggarakan hidup dalam terang Firman Tuhan. Oleh sebab itu gereja harus sungguh-sungguh membekali jemaat-Nya dengan kebenaran-kebenaran Firman Tuhan, supaya mereka tidak seperti anak yatim piatu yang berjalan tanpa panduan dan bimbingan. Pada akhirnya anak Tuhan memiliki irama hidup warga kerjaan sorga, itulah tradisinya.

Jemaat tidak bisa terlalu disalahkan kalau terpaksa harus berbuat salah dalam penyelenggaraan tradisi, sebab mereka memang tidak dibekali dengan kebenaran yang memampukan mereka menyelenggara-kan tradisi dalam terang Firman Tuhan. Untuk ini setiap anggota jemaat seharusnya sejak muda atau sejak dini telah diajar mengenal kebenaran Allah. Sehingga ketika saatnya anggota jemaat diperhadapkan kepada pengambilan keputusan etis dalam bidang-bidang hidup yang digumuli mereka, mereka sudah memiliki bekal untuk itu.

Penyelengaraan tradisi adalah gerak yang diperkenan oleh Allah sebab di sana Allah hendak berkomunikasi dengan manusia. Hal ini akan terealisir kalau dalam penyelengaraan hidup tersebut, manusia sebagai pelaku tradisi selalu meminta pimpinan-Nya. Sehingga ruang kerja manusia adalah rumah ibadah bagi Tuhan. Semua gerak dalam tradisi adalah devosi kepada Sang Khalik. Dalam hal ini yang penting adalah mengenal dengan benar Alkitab. Kebenaran yang termuat dalam Alkitab akan membuka mata kita untuk mengenali apakah suatu tradisi bertentangan dengan Alkitab atau tidak. Selanjutnya persekutuan dengan Tuhan yang membuahkan kesucian hidup memberikan kepekaan untuk dapat membedakan apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Roma 12:1-2; Mat 5:8).

Jumat, 16 Januari 2009

PENILIK JEMAAT DAN KEWAJIBANNYA

Kisah Para Rasul 20:28

???Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.???

Tidak ada gereja yang dapat berfungsi tanpa pemimpin-pemimpin yang ditetapkan. Oleh karena itu, seperti dinyatakan dalam Kis 14:23, orang tertentu diangkat untuk jabatan sebagai penilik jemaat atau penatua oleh orang percaya yang dipenuhi dengan Roh, yang mencari kehendak Allah lewat doa dan puasa, menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Roh Kudus dalam 1Tim 3:1-7 dan Tit 1:5-9. (sudah dibahas dalam fokus dua edisi sebelumnya). Dengan demikian, pada akhirnya Roh Kuduslah yang menetapkan seorang penilik jemaat dalam gereja. Pesan Paulus kepada para penatua di Efesus (Kis 20:18-35) merupakan nas terbaik yang memberikan prinsip-prinsip Alkitabiah tentang bagaimana berfungsi sebagai seorang penilik jemaat dalam gereja yang tampak (tugas mereka agak mirip dengan tugas para nabi-nabi PL), yaitu:

MEMPERKENALKAN IMAN

(1) Salah satu tugas utama dari seorang penilik ialah memberi makan kepada domba-domba Allah dengan mengajarkan Firman Allah. Mereka harus selalu ingat bahwa kawanan yang diberikan kepada mereka adalah umat Allah sendiri yang telah dibeli untuk diri-Nya dengan darah Anak-Nya yang mahal (bd. Kis 20:28; 1Kor 6:20; 1Pet 1:19; 2:9; Wah 5:9).

(2) Dalam Kis 20:19-27, Paulus menerangkan bagaimana dia melayani sebagai gembala jemaat di Efesus; dia telah memberitakan seluruh maksud Allah dengan mengingatkan dan mengajar orang Kristen Efesus dengan setia (Kis 20:27). Oleh karena itu, Paulus dapat mengatakan, “Aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun (Kis 20:26). Di dalam terjemahan versi Inggris NIV ayat ini berbunyi; “bahwa aku tidak bersalah atas darah semua orang.” Kata “darah” pada umumnya dipakai untuk menunjuk kepada pertumpahan darah, yaitu, kejahatan membunuh orang (bd. Kis 5:28; Mat 23:35; 27:25). Di sini yang dimaksudkan ialah: Pertama, jikalau seorang mati secara rohani dan hilang selama-lamanya, yang salah bukan rasul Paulus. Kedua, Jikalau para penilik jemaat tidak mau bertanggung jawab atas kebinasaan orang-orang di bawah pelayanan mereka, maka seluruh kebenaran Allah harus diberitahukan kepada mereka.

Para penilik jemaat dewasa ini juga harus memberitakan seluruh maksud Allah kepada gereja mereka. Mereka harus “memberitakan Firman ... nyatakan apa yang salah, menegur, dan menasihati dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2Tim 4:2) serta menolak menjadi pengkhotbah yang berusaha menyenangkan hati orang dan hanya mengatakan apa yang mereka mau dengar (2Tim 4:3).

MENJAGA IMAN

Gembala yang sejati haruslah dengan rajin melindungi dombanya dari musuh-musuh mereka. Paulus mengetahui bahwa di masa yang akan datang, Iblis akan membangkitkan guru-guru palsu dari dalam gereja dan menyusupkan ke dalam jemaat penipu-penipu dari luar yang mengajar doktrin yang tidak Alkitabiah, pikiran duniawi dan gagasan-gagasan kafir humanistik. Keduanya akan menghancurkan iman umat Allah.

Paulus menyebut mereka “serigala-serigala yang ganas”, yang berarti mereka adalah kuat, sukar diatur, serakah, dan berbahaya (lih Kis 20:29), dipengaruhi oleh ambisi pribadi untuk mendirikan kerajaan mereka sendiri atau oleh keserakahan akan uang, kuasa atau popularitas (mis.Tim 1:6-7; 2Tim 1:15; 4:3-4; 3Yoh 1:9), para penyemu dalam gereja akan “memutarbalikkan” Injil sebagaimana terdapat dalam PB: (1) dengan menyangkal atau mengabaikan beberapa kebenaran asas; (2) dengan menambahkan berbagai ide humanistik, filsafat dan psikologi; (3) dengan mencampur ajaran dan praktik Injil dengan berbagai ajaran asing lainnya; (4) dan dengan bersikap menenggang terhadap kehidupan amoral yang bertentangan dengan kebenaran Allah (1Tim 4:1;Wahy 2:1-3:22).

Bahwa serigala-serigala ganas seperti itu masuk di kalangan jemaat serta melemahkan ajaran dan praktik rasuli di Efesus tampak dari 1Tim 1:3-4,18-19; 4:1-3; 2Tim 1:15; 2:17-18; 3:1-8. Surat-surat Penggem-balaan menyatakan bahwa penolakan secara umum terhadap ajaran rasuli mulai meningkat di seluruh propinsi Asia. (bd.Mat 10:16). Orang-orang semacam itu akan menarik orang dari ajaran Kristus kepada diri mereka sendiri dan injil mereka yang putar balik. Imbauan Paulus yang mendesak (Kis 20:25-31) meletakkan suatu kewajiban atas setiap pemimpin gereja untuk menjaga gereja sambil melawan semua orang yang hendak memutarbalikkan penyataan dasar dari iman PB.

Gereja yang sejati hanya terdiri atas mereka yang oleh kasih karunia Kristus dan persekutuan Roh Kudus setia kepada Tuhan Yesus Kristus dan Firman Allah. Oleh karena itu, sebagai aspek utama dari menjaga gereja, para pemimpin gereja harus mendisiplinkan dan menegur dengan kasih (Ef 4:15) serta dengan tegas membuktikan ketidakbenaran (2Tim 4:1-4; Tit 1:9-11) semua orang di dalam gereja yang “menyimpang dari kebenaran” (Kis 20:30) dengan mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan Firman Allah dan kesaksian para rasul.

Para pemimpin gereja, para gembala jemaat lokal dan para pengurus hendaknya mengingat bahwa Tuhan Yesus telah menjadikan mereka bertanggung jawab atas darah semua orang di bawah pengawasan mereka (Kis 20:26-27; bd. Yeh 3:20-21). Jikalau para pemimpin gagal memberitakan dan melakukan seluruh maksud Allah bagi jemaat (Kis 20:27), khususnya dalam menjaga kawanan itu (Kis 20:28), mereka tidak akan “tidak bersalah terhadap darah orang” (Kis 20:26 bd. Yeh 34:1-10). Sebaliknya, Allah akan menyatakan mereka bersalah atas darah semua yang terhilang karena para pemimpin menolak untuk melindungi kawanan itu dari mereka yang melemahkan dan memutarbalikkan Firman Allah. Dalam 2 Tim 1:14 menyebutkan bahwa para gembala sidang harus menjaga dan mempertahankan Injil yang dipercayakan kepada mereka sekalipun pada masa banyak orang meninggalkan iman PB (2Tim 3:13-15; 4:2-5; 1Tim 4:1).

Mereka harus mempertahankannya terhadap serangan sambil menantang gereja jikalau dicobainya mengesampingkan kebenarannya. Tugas ini penting untuk menjamin keselamatan bagi dirinya dan mereka yang dibinanya (lih. 2Tim 3:14-15. 1Tim 4:16"; Menjalankan kehidupan yang kudus (1Tim 4:12), tetap peka terhadap pekerjaan dan karunia Roh Kudus (1Tim 4:14), mengajarkan ajaran yang benar (1Tim 4:13,15-16), memelihara iman (1Tim 6:20;2Tim1:13-14) dan memperhatikan kehidupan rohani pribadi (1Tim 4:16) adalah lebih dari sekadar tanggung jawab pelayanan bagi Timotius. Semuanya ini penting bagi keselamatannya sendiri (yang sekarang dan yang kemudian: dan bagi mereka yang dilayani olehnya (bd. 2Tim 3:13-15).

Memelihara iman yang indah itu harus dilakukan dengan pertolongan Roh Kudus. Dialah yang mengilhamkan kebenaran yang tidak dapat bersalah dari Alkitab (lih. 2Tim 3:16; 2Pet 1:21) dan Dialah yang membimbing dan membela kebenaran (Yoh 16:13). Mempertahankan iman yang telah dipercayakan kepada orang-orang kudus (Yud 1:3) berarti tetap setia berdampingan dengan Roh Kudus (Yoh 14:17; 15:26-27; 16:13).

Dalam Wahyu 2:2 dinyatakan salah satu hal yang sangat diperhatikan Kristus seperti yang terungkap dalam pesan terakhir-Nya kepada ketujuh jemaat adalah bahwa mereka tidak undur karena bertoleransi terhadap guru-guru, nabi-nabi dan rasul-rasul palsu yang memutarbalikkan Firman-Nya atau yang melemahkan kuasa dan wewenang firman itu. Kristus memerintah jemaat-jemaat untuk menguji semua orang yang menyatakan memiliki kekuasaan rohani.Perhatikanlah kecaman Kristus terhadap jemaat-jemaat di Pergamus (Wah 2:14-16) dan Tiatira (Wah 2:20) karena menerima orang yang tidak setia kepada ke-benaran dan standar-standar Firman Allah dan bukan menolaknya. bd. 2Tim 1:14; Wah 2:2.

Menjalankan disiplin berhubungan dengan perkara teologis, doktrin, dan moral oleh dan kepada mereka yang bertanggung jawab atas pengarahan jemaat adalah sangat penting. Kemurnian doktrin dan hidup serta kesetiaan pada ketidaksalahan Alkitab harus dijaga dengan saksama dalam perguruan tinggi, sekolah Alkitab, seminari, lembaga penerbitan dan semua struktur organisasi gereja (2Tim 1:13-14).

Persoalan utama di sini adalah sikap seseorang terhadap pengilhaman ilahi Alkitab yang oleh Paulus disebut “firman kasih karunia-Nya” (Kis 20:32). Guru-guru, gembala-gembala dan pemimpin-pemimpin palsu akan berusaha untuk melemahkan kekuasaan Alkitab dengan pengajaran yang subversif dan prinsip-prinsip yang tidak alkitabiah. Dengan menolak kekuasaan penuh Alkitab, mereka menyangkal bahwa Alkitab adalah benar dan dapat dipercaya dalam semua yang diajarkannya (Kis 20:28-31;1Tim 4:1; 2Tim 3:8).

Dalam Gal 1:6, Guru-guru palsu telah datang kepada jemaat Galatia sambil berusaha mempengaruhi mereka untuk menolak ajaran Paulus dan menerima “suatu injil lain”. Injil mereka mengajar bahwa keselamatan meliputi bukan hanya percaya kepada Kristus, tetapi juga bergabung dengan agama Yahudi dengan jalan disunat (Gal 5:2), menaati hukum Taurat (Gal 3:5), dan merayakan hari-hari raya Yahudi (Gal 4:10). Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa hanya ada satu Injil yaitu, “Injil Kristus” (Gal 1:7). Injil itu telah sampai kepada kita melalui “penyataan Yesus Kristus” (Gal 1:12) dan pengilhaman Roh Kudus. Injil ini diterangkan dan diungkapkan dalam Alkitab, Firman Allah. Semua ajaran atau gagasan yang bersumber dari manusia, gereja, atau tradisi dan tidak dinyatakan atau tersirat dalam Firman Allah tidak boleh dimasukkan dalam Injil Kristus (Gal 1:11). Mencampur isi asli Injil dengan hal-hal itu ialah “memutarbalikkan Injil Kristus” (Gal 1:7).Orang-orang ini, demi kemurnian gereja, harus didisiplinkan dan dikeluarkan dari persekutuan jemaat (2Yoh 1:9-11) -ref. Gal 1:9

Gereja yang tidak turut merasakan perhatian yang berkobar-kobar dari Roh Kudus untuk kemurnian gereja (Kis 20:18-35), yang menolak untuk mempertahankan pendirian yang teguh tentang kebenaran, yang menahan diri dari mendisiplinkan mereka yang melemahkan kekuasaan Firman Allah tidak akan lama menjadi gereja menurut norma Perjanjian Baru. Gereja itu akan jatuh dalam kemurtadan dari penyataan semula Kristus dan para rasul, terjerumus makin jauh dari maksud, kuasa, dan kehidupan Perjanjian Baru.

Baik dari kitab Kisah Para Rasul maupun nas lainnya dalam PB kita memperoleh pengertian mengenai norma atau patokan-patokan yang diterima gereja PB:

1) Yang pertama dan utama ialah bahwa suatu gereja akan terdiri atas orang-orang yang dibentuk dalam jemaat setempat dan dipersatukan oleh Roh Kudus, yang dengan tekun mencari suatu hubungan pribadi dengan Allah dan Tuhan Yesus Kristus (Kis 13:2; 16:5; 20:7; Rom 16:3-4).

2) Melalui kesaksiannya yang berkuasa, orang berdosa akan diselamatkan, dilahirkan kembali, dibaptiskan dalam air dan dijadikan anggota jemaat; mereka akan mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus dan menantikan kedatangan Kristus (Kis 2:41-42; 4:33; 5:14; 11:24; 1Kor 11:26).

3) Baptisan dalam Roh Kudus akan diberitakan dan disampaikan kepada orang percaya yang baru serta kehadiran dan kuasa Roh akan dinyatakan (Kis 2:39).

4) Karunia-karunia Roh Kudus bekerja (Rom 12:6-8; 1Kor 12:4-11;Ef 4:11-12), termasuk tanda-tanda ajaib dan mukjizat-mukjizat serta penyembuhan (Kis 2:18,43; 4:30; 5:12; 6:8; 14:10; 19:11; 28:8, Mark 16:18).

5) Allah memberikan kepemimpinan rangkap lima kepada gereja “untuk mem-perlengkapi orang-orang kudus bagi pe-kerjaan pelayanan” (Ef 4:11-12).

6) Orang percaya akan mengusir setan (Kis 5:16; 8:7; 16:18; 19:12, Mark 16:17).

7) Akan ada kesetiaan penuh kepada Injil, yaitu, ajaran asli Tuhan Yesus dan para rasul (Kis 2:42).

8) Pada hari pertama dari setiap minggu (Kis 20:7; 1Kor 16:2), jemaat lokal akan bertemu untuk berbakti serta membangun diri bersama melalui Firman Allah dan penyataan-penyataan Roh (1Kor 12:7-11, 1Kor 14:26; 1Tim 5:17).

9) Gereja akan berada di hadapan Allah yang kudus dengan kerendahan hati, kegentaran, dan kekaguman (Kis 5:11). Umat akan sangat memperhatikan kesucian gereja, sambil mendisiplinkan anggota yang berdosa dan guru-guru palsu yang tidak setia kepada iman alkitabiah (Kis 20:28; 1Kor 5:1-13).

10) Mereka yang bertekun dalam sifat kesalehan dan patokan-patokan kebenaran yang ditetapkan para rasul akan ditahbiskan sebagai penatua untuk menilik jemaat-jemaat lokal sambil memelihara kehidupan rohani mereka (Mat 18:15).

11) Demikian pula, gereja akan mempunyai para diaken yang bertanggung jawab atas berbagai urusan sekular dan jasmani (1Tim 3:8).

12) Di antara anggota-anggota jemaat akan tampak kasih dan persekutuan dalam Roh (Kis 2:42,44-46) bukan saja dalam jemaat lokal, tetapi juga antara jemaat-jemaat lain yang percaya Alkitab (Kis 15:1-31).

13) Gereja akan menjadi gereja yang berdoa dan berpuasa (Kis 1:14; Kis 6:4; 12:5; 13:2; Rom 12:12; Kol 4:2; Ef 6:18).

14) Orang percaya akan memisahkan diri dari pendapat dunia dan roh duniawi yang berlaku dalam kebudayaan di sekitarnya (Kis 2:40, Rom 12:2; 2Kor 6:17; Gal 1:4; 1Yoh 2:15-16).

15) Akan ada penderitaan karena dunia serta cara hidupnya (Kis 4:1-3; Kis 5:40; 9:16; 14:22).

16) Gereja akan menolong secara aktif mengirim misionaris ke negara lain (Kis 2:39; 13:2-4). Tidak ada satu pun gereja lokal yang berhak menyebutkan dirinya gereja menurut norma PB kecuali ada usaha untuk menjalankan keenam belas sifat ini dalam sidangnya.

Rabu, 14 Januari 2009

Pengenalan Terhadap Sepuluh Hukum Allah

Dekalog atau dasa titah atau sepuluh hukum Tuhan diberikan Tuhan kepada umat Israel di Horeb melalui hamba-Nya, Musa.

Bahasa Ibrani untuk dekalog adalah aseret had d’barim. Dekalog adalah kata yang diambil dari bahasa Yunani. ‘Deka’ (sepuluh) dan ‘log - logos’(kata). Jadi, ‘dekalog’ berarti sepuluh kata, sepuluh firman atau sepuluh perintah. Kesepuluh titah Tuhan ini terdapat dalam Keluaran 20:1-17 dan Ulangan 5:1- 21. Merupakan suatu yang penting untuk meninjau dekalog dari berbagai aspek, karena dengan memiliki pengertian yang benar terhadap dekalog kita akan dibawa untuk menggumuli dekalog dengan sikap hati yang benar pula.

Pembagian Sepuluh Hukum Allah

Dekalog yang terdiri dari sepuluh firman tersebut adalah butir-butir hukum Tuhan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Seluruhnya merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Pelanggaran terhadap salah satu butir hukum tersebut berarti melanggar keseluruhan dari hukum tersebut (Yak. 2:10). Dalam menerima butir-butir dekalog hendaknya kita tidak tergoda untuk mengubah susunannya atau menyatukan butir-butirnya. Namun jika ditinjau dari obyeknya, dekalog dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

(1) Bagian pertama terdiri dari hukum kesatu sampai keempat. Bagian ini merupakan hukum-hukum yang mengatur hubungan umat dengan Allah.

(2) Bagian kedua terdiri dari hukum kelima sampai kesepuluh. Bagian ini merupakan hukum-hukum yang mengatur hubungan antar sesama.

Pembagian ini janganlah dimengerti sebagai pembagian yang mutlak sebab hukum kesatu sampai keempat bukan hanya semata-mata mengatur hubungan antara Tuhan dan umat-Nya, tetapi berkaitan juga dengan hubungan antar umat itu sendiri. Ketaatan kepada hukum kesatu sampai ketiga sangat berpengaruh terhadap sikap hidup seseorang terhadap sesamanya. Hukum keempat mengenai hari Sabat, juga berkaitan dengan sikap para tuan terhadap budaknya. Sebab pada hari Sabat, umat bukan saja diwajibkan untuk bersekutu dengan Allah, tetapi juga memperlakukan budak-budaknya secara manusiawi. Sebaliknya, jika seseorang tidak memperdulikan hukum kelima sampai kesepuluh, maka secara tidak langsung ia akan merusak hubungannya dengan Allah yang memiliki hukum tersebut. Oleh sebab itu pembagian ini harus dimengerti sebagai pembagian secara relatif.

Spirit Ahli Taurat masa Kini

Ahli taurat seperti yang dijumpai pada zaman Yesus mungkin sudah tidak ada lagi. Tetapi jabatan semacam itu dengan fungsi yang sama ada pada jaman kita. Bila dicermati ternyata fungsi mereka sejajar dengan fungsi pendeta atau hamba Tuhan hari ini. Hamba Tuhan yang mungkin telah mengikuti pendidikan tertentu sehingga dianggap pantas mengajarkan isi kitab suci dan hukum-hukum Tuhan. Dapat dijumpai ternyata orang-orang ini ada yang memiliki roh yang sama seperti rohnya ahli-ahli taurat zaman Yesus. Adapun tanda-tanda roh ahli taurat itu antara lain:

Bila kita hubungkan pembagian di atas dengan penjelasan Tuhan Yesus kepada orang Farisi dalam Matius 22:34-40, terdapat dua hukum yang utama sebagai hukum di mana seluruh hukum taurat dan kitab para nabi bergantung. Hukum pertama berorientasi pada sikap umat kepada Allah dan hukum kedua berorientasi pada sikap manusia terhadap sesamanya. Kedua hukum di atas sebetulnya memiliki kesejajaran, maksudnya adalah bahwa hukum yang satu tidak lebih tinggi dari hukum yang kedua, sebab mustahil seseorang mentaati satu hukum dan mengabaikan yang lain. Oleh karena itu, Tuhan Yesus menjelaskan hubungan antara kedua bagian dekalog tersebut dengan kalimat “yang sama dengan itu” (Mat. 22:39)

Kalau hubungan antara umat dengan Allah diidentifikasikan sebagai agama, dan hubungan antara sesama umat diidentifikasikan sebagai etika, maka dalam hal ini kita menemukan kesatuan mutlak antara agama dan etika. Agama tidak dapat berdiri sendiri. Agama tidak dapat dipisah dari etika. Agama tanpa etika tidak menjadi agama, sebab mutu agama ditentukan oleh etikanya.

Maksud Allah Memberikan Sepuluh Hukum Allah

Hukum ini diberikan bukan sekedar supaya hati Allah dipuaskan kalau umat-Nya dapat menuruti kehendak-Nya, melainkan ada sesuatu yang lebih dalam dari itu, bahwa Allah yang adalah kasih (1 Yoh. 4:8) hendak menunjukkan dan memanifestasikan kasih tersebut secara konkret. Allah memberikan hukum-Nya agar umat dapat menikmati berkat-Nya. Inilah pernyataan kasih Allah yang konkret. Hukum-hukum yang Allah berikan menciptakan harmonisasi antara Allah dengan umat maupun antar umat itu sendiri. Tanpa harmonisasi umat tidak dapat menikmati segala kelimpahan rahmat-Nya.Oleh sebab itu untuk menerima segala kebaikan Tuhan, umat mutlak harus mengerti, menghayati dan mematuhi hukum-hukum-Nya.Karena dekalog diberikan untuk kebaikan umat-Nya, maka hendaknya umat menerima dekalog dengan sukacita. Sekalipun bentuk perintah dekalog negatif, di mana setiap butir perintah diawali dengan kata “jangan” tetapi maksudnya sangat positif. Oleh sebab itu titah-titah dalam dekalog adalah hukum positif.

Hubungan Sepuluh Hukum Allah dengan Umat Perjanjian Baru

Jangan sekali-kali kita berpendapat bahwa umat Perjanjian Baru tidak lagi membutuhkan dekalog, sebab zaman anugerah telah datang dan zaman Taurat telah berlalu. Dalam dekalog nampak kepada kita suatu cermin di mana kita dapat menemukan hati Allah, kehendak Allah yang kudus, kekal dan tidak berubah. Dekalog menunjuk kepada standar moral Allah yang juga harus dikenakan kepada manusia yang adalah gambar Allah. Standar moral ini merupakan tuntutan abadi Allah kepada semua manusia yang tidak pernah berhenti dan melaluinya manusia hendak digiring kepada anugerah Kristus.

Kristus telah membebaskan umat dari tuntutan hukum Taurat dan membenarkan umat bukan karena melakukan Taurat, tetapi karena korban penebusan-Nya. Namun bukan berarti umat Allah kemudian tidak perlu hukum. Kita bebas dari hukum Taurat dengan standard penafsiran dan penerapannya, tetapi kemudian kita masuk ke dalam hukum Kristus, yaitu pembenaran oleh korban-Nya, kemampuan oleh benih ilahi-Nya untuk taat kepada hukum (2 Pet. 1:3) yaitu hukum kesempurnaan-hukum yang telah digenapi (Yunani: plerosai; Inggris: to fullfil; Mat. 5:17). Oleh karenanya Tuhan menyampaikan panggilan-Nya kepada warga Kerajaan Sorga untuk sempurna seperti Bapa di sorga. Kesempurnaan ini juga termasuk mematuhi hukum yang telah digenapi tersebut.

Hubungan Sepuluh Hukum Allah dengan Mutu Hidup

Dekalog membawa manusia kepada citra Allah. Dalam hal ini, jelaslah bahwa seseorang yang mau mematuhi dekalog akan memiliki sebuah kehidupan yang bermutu. Dalam penjelasan Yesus kepada seorang pemimpin agama Yahudi yang mengingini sebuah kehidupan yang berkualitas, Tuhan Yesus menawarkan dekalog-Nya (Mrk. 10:17-21). Hidup kekal hendak menunjuk kehidupan yang berkwalitas. (Kata ‘kekal’ dalam ucapan pemimpin agama Yahudi itu bukan saja hendak menunjuk kepada hidup abadi di sorga tetapi juga mutu hidup saat ini).

Selanjutnya, bila berbicara mengenai mutu hidup yang selaras dengan rencana agung-Nya, yaitu menciptakan manusia segambar dengan Allah (Rom. 8:29), Tuhan Yesus harus memaparkan dekalog dengan interpretasi (penafsiran) yang tepat. Interpretasi yang tepat tersebut diformulasikan dengan kalimat yang diucapkan Tuhan Yesus sebagai: “Juallah segala milikmu, bagikan kepada orang miskin dan ikutlah Aku” (Mat.19:21). Kalimat ini dirumuskan Tuhan Yesus dalam Mat 7:12 “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Itulah kesempurnaan.Bahwa kita dipanggil untuk sempurna seperti Bapa, artinya melakukan dekalog yang telah menerima interpretasi baru.

Pada akhirnya umat Perjanjian Baru dapat mentaati firman pertama sampai kesepuluh bukan karena hukum itu sendiri (Gal. 5:18), tetapi karena telah menjadi karakter kita atau terpersonifikasikan dalam hidup kita. Selama kita hidup di dalam dunia, dekalog tetap menjadi panduan oleh pimpinan Roh Kudus yang membawa kita kepada kehendak Allah yang sempurna. Hal ini terjadi sebab selama kita hidup, pertumbuhan untuk mentaati dekalog adalah proses yang berlangsung seumur hidup

Aku Memberi Kelegaan

Percaya bahwa Tuhan berkuasa atas alam semesta, itu baik. Tetapi percaya bahwa Tuhan berkuasa atas hidup kita, itu lebih baik. Percaya bahwa Tuhan berkuasa atas segala kekuatan melahirkan mujizat. Tetapi percaya bahwa Tuhan berkuasa atas hidup kita, melahirkan ketaatan. Percaya Tuhan berkuasa atas segala kekuatan, membuka peluang kita memanfaatkan Tuhan, tetapi percaya bahwa Tuhan berkuasa atas hidup kita, membuka peluang Tuhan memanfaatkan kita.

Semakin kita terbelenggu di dalam Tuhan, semakin kita menikmati kemerdekaan. Semakin kita terbelenggu, terikat dan terpenjara oleh Tuhan, semakin kita menemukan kemerdekaan. Sebaliknya, semakin kita ingin merdeka dari Tuhan, semakin membuat kita mau suka-suka sendiri, semakin terbelenggu.

Pada dasarnya, kita adalah makhluk ciptaan-Nya. Sampai kapan pun kita akan menjadi hamba. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah menjadi tuan, sebab kita memang pelayan. Masalahnya, apakah kita mau menjadi hamba atau pelayan Tuhan, ataukah menjadi hamba atau pelayan Iblis. Kita tidak bisa berdiri di tengah-tengah, dan menunda untuk memiliki kebulatan tekad kepada siapa kita mengabdi, yaitu kepada siapa kita menyerahkan diri. Kita tidak boleh menunda untuk kehilangan hidup. Kehilangan hidup bagi Tuhan atau kehilangan hidup bagi Iblis.

Ketika kita mengambil keputusan untuk tidak mengambil keputusan, mengambang, atau menggantung. Pada saat itulah kita memberi diri untuk jauh dari rencana Allah, jauh dari cengkeraman Tuhan, jauh dari ikatan Tuhan. Itu berarti menggiring diri ke tempat yang salah.

Orang-orang yang telah memiliki komitmen, membulatkan tekad memberi diri, melayani, dan mengabdi bagi Tuhan. Sungguh, itu pun masih bisa tergeser dari posisi yang benar. Itu pun bisa tawar hati, lemah dan jatuh. Terlebih lagi seseorang yang tidak mempunyai tekad yang mantap, bulat dan solid menyerahkan hidupnya bagi Tuhan. Marilah kita memperkarakan hal ini dengan serius.

Ada orang-orang yang semestinya bisa menuntun dan mengajarkan kebenaran-kebenaran Tuhan kepada yang belum paham. Namun, karena telah menikmati posisi yang nyaman, menjadi kurang mempedulikan Tuhan dan pekerjaan-Nya. Terlanjur menjadi Sarjana, Master atau Doktor dalam theologia, tetapi karena belum dibelenggu Tuhan, keberadaannya menjadi berbahaya. Orang itu terlanjur menjadi hebat dengan posisi besar di gereja, atau dalam institusi lembaga-lembaga Kristen lainnya, sungguh berbahaya. Orang-orang yang telah dibelenggu dan serius mengikut Tuhan saja, masih terus menggeliat, meronta, dan mau mengambil kembali apa yang telah diserahkannya kepada Tuhan. Terlebih lagi orang-orang yang belum sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Sebab itu jangan menangis kalau saudara ditinggal pacar, dikhianati pasangan hidup, atau nama kita dirusak orang. Bahkan jika usaha dagang kita merugi, atau penyakit yang merongrong dan mengancam hidup. Tetapi, “Merataplah jika engkau menemukan liarnya jiwamu.” Ratapilah jika unsur-unsur pemberontakan kepada Tuhan itu masih ada dalam dirimu.

Sampai-sampai kita berkata, “Tuhan jika begini terus, bawa sajalah aku pulang ke rumah Bapa.” Jangan menangis untuk hal-hal yang fana, sia-sia dan membuang energi, tetapi merataplah tatkala engkau tidak menemukan adanya ketertundukan (submission) yang utuh kepada Tuhan dalam dirimu. Seperti yang dikatakan Tuhan Yesus saat memikul salib di sepanjang via Dolorosa. Dengan tubuh terkoyak karena cemeti yang ujungnya berkait besi, dan berhiaskan mahkota duri di kepala-Nya. Orang-orang banyak yang menyaksikan menangisi dan meratapi-Nya, tetapi Dia berkata, “Janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisi dirimu sendiri dan anak-anakmu” (Luk. 23:28).

Kita sebagai manusia adalah orang yang tidak sempurna, bahkan masih murid yang terus belajar. Syukur kalau sudah dianggap mahasiswa, tetapi yang jelas belum diwisuda. Selama kita belum diwisuda, belajarlah terus. Belajarlah firman Tuhan secara benar. Kapankah kita diwisuda? Nanti, ketika saatnya kita mati!

Sekali-kali, jangan mempersoalkan hal lain yang harus dikatakan minor. Jangan mempersoalkan hal-hal yang sebenarnya tidak utama. Yang terutama ialah, persoalkanlah diri kita di hadapan-Nya. Bagaimana kita hidup dalam ketertundukan kepada Tuhan, hingga kita bisa berkata, “Tuhan, Engkaulah hukumku.” Kalau hukum yang tertulis bisa ditafsirkan macam-macam, dan orang masih bisa membela diri. Tetapi kalau Tuhan yang menjadi hukum kita, sangat akurat. Lord, You are my law. Engkau-lah hukumku! Tidak ada gerak tubuh, fisik dan mulutku yang di luar kontrol-Mu, karena Engkau-lah Tuhan yang menjadi hukumku!

Setiap otot jiwa kita harus dilatih dan dibiasakan lentur. Manusia bisa kaya mendadak, tetapi manusia tidak bisa tunduk mendadak. Kaya, berpangkat dan terpandang secara mendadak itu bisa, karena pangkat dapat dibeli. Tetapi hati yang menunduk mendadak, itu tidak bisa. Membutuhkan waktu! Dalam sesaat kita bisa mengubah bibir dengan berkata: “Suka-suka-Mu Tuhan.” Itu mudah! Tetapi membuat hati ini lentur kepada Tuhan, tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Jika telah terlalu lama otot ketaatan dan ketertundukan ini tidak menguasai kita, maka yang harus dilakukan adalah memperkarakan diri ini di hadapan Tuhan dengan serius. Benar kalau datang kepada Tuhan seperti saat ini, kita harus menganggap tidak punya persoalan lain kecuali diri kita sendiri. Untuk tidak memberhalakan diri, kita harus menjadi manusia Allah, dengan standar manusia Allah. Sebagaimana manusia, kita jangan memanjakan perasaan. Sebagai manusia Allah, yaitu anak-anak Allah yang dilengkapi-Nya dengan hikmat dan kuasa, untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu, kita harus sampai dulu di perhentian ambisi, baru bisa dibentuk.

Pembacaan: Injil Matius 11:28-30.

Terlebih dulu kita harus memahami, apa yang dimaksud Tuhan dengan letih lesu dan berbeban berat. Tidak usah bertele-tele, sebab ini sangat beralasan, sederhana, alkitabiah dan jujur. Letih lesu dan berbeban berat itu adalah, hidup yang terikat dan terbelenggu, lemah dan tidak ada kebahagiaan. Ini suatu yang paradoksal. Ketika seseorang datang kepada Tuhan dengan letih lesu dan berbeban berat, Tuhan berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (ayat 28). Bagaimana caranya mendapatkan kelegaan itu, padahal kita sudah punya beban? Malah mau ditambah beban lagi, yaitu kuk di leher (ayat 29). Dibaca sekilas, sepertinya itu konyol. Tetapi kuk yang dipasang-Nya itu, justru membuat jiwa kita mendapat kelegaan.

Sebelum membaca ayat ini kita diberitahukan, kalau datang kepada Tuhan, bertindaklah seolah-olah hidup ini tidak mempunyai persoalan. Dari ayat ini sebenarnya ada satu yang tersirat, walau tidak tersurat secara eksplisit. Tuhan memindahkan beban atau malah menggandakan beban yang baru kepada kita.

Untuk mengerti kebenaran ini, maka kita harus memahami dulu apa itu kelegaan. Kelegaan dalam teks asli bahasa Yunani adalah anapauso. Kata ini sejajar dengan sabatton, sabat, atau berhenti dalam bahasa Ibrani. Seseorang tidak bisa belajar dari Tuhan, dalam hal ini hidup di dalam kedaulatan Allah, atau ketertundukan kepada Tuhan, tanpa dia berhenti. Dia harus berhenti dulu! Jika tidak, maka dia akan tetap dalam bebannya. Dia tidak akan bisa menikmati kelegaannya, maksudnya memindahkan beban berat yang dipikulnya.

Kenalilah didikan dan ajaran Bapa yang diteladankan-Nya, yaitu pengenalan akan Dia. Tuhan Yesus mengatakan “Bapa menyatakan kepada orang kecil” (Mat. 11:25). Kata kecil di sini merupakan misteri. Kecil bukan menunjukkan tubuh yang mungil, tetapi orang-orang yang sederhana. Kepada orang-orang sederhanalah Tuhan berkenan menyatakan ajaran-Nya, diri-Nya; oleh karenanya orang itu akan memperoleh kelegaan. Pendidikan, ajaran yang terus berkembang, dan tunduk taat karenanya.

Dalam Luk 16:11. Harta yang sesungguhnya adalah kebenaran Tuhan (aleitheia). Kalau harta masih diburu dan dikejar, maka Dia tidak bisa mengajar kita. Kita harus terlebih dulu tunduk pada kehendak-Nya. Kelegaan yang dimaksud Tuhan Yesus itu sangat bergantung pada diri kita sendiri. Kelegaan jangan salah dimengerti. Misalnya, karena sudah punya jodoh, pekerjaan atau hidup mapan. Kelegaan di sini adalah kelegaan yang datang dari Tuhan.

Kita yang telah mengenal firman-Nya, harus berani berkata: “Tuhan aku mau, aku serius mengikuti kehendak-Mu.” Kita telah sampai pada pendidikan yang Tuhan berikan. Dalam Yohanes 8:30-32 Tuhan Yesus menjelaskan, bahwa kalau kita tetap dalam firman-Nya, maka kita adalah benar-benar murid-Nya yang telah dimerdekakan. Jika sudah sampai di sini, berarti gereja-Nya sudah layak diwisuda.

Setiap orang punya bayangan hidup yang ideal. Sebagai seorang pendeta, pasti keinginannya mempunyai jemaat yang besar, gedung-gedung gereja dan perlengkapannya. Kelihatannya ini benar, tetapi itu juga salah. Kalau itu semua bukan bagiannya, tetapi hanya karena ambisi, akan tetap hidup dalam letih, lesu dan berbeban berat.

Barang siapa setia dalam perkara yang kecil dia akan mendapat perkara yang besar. Perkara kecil itu adalah soal uang, soal harta dunia, soal mamon. Kalau dalam hal harta saja kita gagal, apalagi untuk perkara yang besar.

Dalam Lukas 16:1-9, Tuhan Yesus memuji bendahara yang tidak jujur. Ini berbicara tentang persiapan sang bendahara sebelum dipecat. Dia telah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Ini tentunya sebuah figurasi. Dalam ayat 9 dikatakan, mengikat persahabatan dengan menggunakan Mamon yang tidak jujur. Ini bukan pelecehan, sebab Tuhan tetap menjadi tujuan utama, fokus kita. Sedang materi itu hanyalah alat, atau sarana yang dimanfaatkan. Jelas ini bukan pelecehan kehidupan. Jika nanti orang itu hidupnya tidak dapat ditolong oleh Mamon lagi, maka dia dapat diterima di kemah abadi Tuhan.

Senin, 12 Januari 2009

Allah Yang Peduli

(Mazmur 40:12-18)


Dari pembacaan ayat-ayat tersebut, kita melihat bagaimana pergumulan seorang anak manusia yang mengalami berbagai kesulitan dalam kehidupan, yang menurutnya telah melampaui kekuatannya. Sebenarnya keadaan orang ini mirip dengan apa yang kita alami. Kita menyadari, untuk menjadi seorang anak Tuhan yang berkenan kepada-Nya, yang dapat mengikuti keinginan-Nya, adalah sesuatu yang mustahil. Tetapi firman Tuhan berkata, “Apa yang tidak mungkin bagi manusia, menjadi mungkin bagi-Nya.” Dunia yang dihadapi dengan segala persoalannya, dan klimaksnya adalah dosa serta kuasa kegelapan, sangat melampaui kekuatan kita. Seorang anak manusia yang dapat mengikuti jejak Tuhan Yesus, biarlah bergembira dan bersuka cita karenanya, dan semua orang yang mencari Tuhan, biarlah mereka bersuka cita. Tuhanlah yang menolong dan meluputi aku, dan janganlah berlalu.

Ketika kita datang berhimpun dalam persekutuan orang-orang percaya, berarti kita sedang berperkara dengan Tuhan yang sungguh-sungguh agung. Tuhan yang menciptakan dan mengatasi alam jagat raya, artinya Tuhan yang melampaui besarnya jagat raya dan alam semesta yang unlimited (tidak terbatas) ini. Kita sedang berperkara dengan Tuhan yang mengatasi atau melampaui segala gerak sejarah, bagaimana pun dahsyatnya peristiwa sejarah itu. Namun ternyata, Tuhan yang dahsyat dan tak terbatas itu, sangat memperhatikan kita.

Dalam Yesaya 40:12-15, 23, 27-29, dinyatakan bagaimana kebesaran dan kedahsyatan Tuhan yang luar biasa. Kita tidak akan mampu mengatasi Tuhan yang agung itu dengan akal pikiran yang terbatas. Kita adalah realitas kecil dari ciptaan-Nya, sebab kita sangat kecil dibandingkan dengan gerak alam semesta dan gerak sejarah.

Ketika kita gagal mencapai suatu cita-cita, saat terpuruk dalam keadaan yang serba berkekurangan, ketika tertolak oleh lingkungan, kita dianggap pecundang, orang yang kalah. Sebagai orang yang tidak diperdulikan, maka kita pun merasa sebagai orang yang terbuang. Kalau pun menghampiri Tuhan, kita datang kepada-Nya dengan hati yang kurang percaya, kurang yakin pada kuasa-Nya. Menyampaikan permohonan kepada-Nya pun dengan ratapan dan tangisan, bukan hanya setengah memaksa, tetapi menekan-Nya. Ratapan dan tangisan itu kita gunakan sebagai sarana untuk membujuk dan merayu Tuhan. Meski pun contoh ini relatif, tetapi inilah suatu gejala yang dapat dilihat dengan mata telanjang.

Sekali lagi, dibandingkan dengan realitas dunia ini, manusia sangat kecil. Namun Dia begitu mempedulikan kita yang kecil dan miskin ini. Kita sangat diperhatikan-Nya. Jika ayat 27 mengatakan, Mengapakah engkau berkata demikian, hai Yakub, dan berkata begini, hai Israel: “Hidupku tersembunyi dari Tuhan, dan hakku tidak diperhatikan Allahku?”. Sebenarnya itu adalah bahasa atau seruan kita kepada-Nya. Seiring dengan pertumbuhan rohani, seharusnya hati kita berubah. Ini sangat penting, sebab inilah kuncinya! Jika dulu kita berdoa dengan meratap dan menangis di kaki-Nya, tetapi sekarang tidak! Tuhan yang kukasihi pasti mempedulikan aku, sebab aku berharga di mata-Nya! Sesungguhnya, Tuhan mempertaruhkan seluruh yang dimiliki-Nya untuk keperluan hidup orang yang sangat dikasihi-Nya.

Jika pikiran kita tidak sanggup mengerti segala jalan-jalan-Nya, tetapi hati kita dapat percaya. Segalanya tidak terduga apa yang Dia kerjakan bagi kita. Jika Allah rela memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk menebus kita, sesungguhnya itulah jati diri-Nya. Sehingga untuk hal-hal yang lain, apalah artinya bagi Dia? Setelah kita ditebus dengan darah yang mahal, darah Yesus Kristus, dan diangkat menjadi anak-Nya, Allah akan mengatur segala sesuatunya bagi kita, untuk mendatangkan kebaikan menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya (Flp. 4:19). Bagaimana Allah yang begitu dahsyat, mau dan rela campur tangan dengan perkara-perkara kita yang kecil, mengapa Dia terus “resek” dengan urusan kita? Itulah bukti kesetiaan dan kasih-Nya yang besar bagi umat tebusan-Nya. Allah tidak ingin kita terhilang.

Tuhan menghargai hidup kita, lebih daripada kita menghargai hidup. Tuhan yang tak terbatas itu mau terus memperhatikannya. Jika Dia menghargai kita, tentunya kita pun selayaknya menghargai hidup ini secara proporsional. Itu kalau kita mempercayai bahwa Tuhan memperhatikan hidup kita. Sebaliknya, kita sering tidak menghargai hidup ketika merasa hak kita tidak diperhatikan-Nya. Hari ini kita harus merasa yakin, bahwa hidup kita diperhatikan dan dipelihara Tuhan. Sadarilah, bahwa keadaan kita semuanya dalam kontrol Allah Bapa, yang mengasihi kita lebih daripada orangtua sendiri.

Tatkala seseorang berpaling dari Tuhan, dan mencari perlindungan pada dunia yang menjanjikan pangkat, harta, dan kesenangan lainnya, sehingga terhilang dari hadapan Tuhan. Hari-hari ini banyak orang yang lebih peduli dengan uang dan harta, filosofi mereka adalah demi kelangsungan hidup, sehingga banyak orang hanyut dengan kesenangan duniawi, dan berharap demi melengkapi kebahagiaan dapat meraih dunia sebanyak-banyaknya. Orang ini lupa bahwa Tuhan mempedulikannya sangat sempurna. Orang ini beranggapan, banyak uang maka hidupnya semakin senang. Padahal Tuhan memberikan kita kekayaan itu dengan maksud untuk digunakan bagi kemuliaan-Nya.

Tuhan mungkin menginginkan kita memiliki harta secukupnya, seberapa tepat harta yang patut kita miliki, karena memiliki harta berlebih dapat menghancurkan hidup kita sendiri. Artinya, agar kekayaan itu tidak menjerat dan membahayakan hidup kita. Allah sangat mengasihi kita, jika telah memiliki harta berlimpah, maka hidup kita akan semakin menjauh dari-Nya. Inilah yang dikhawatirkan-Nya.

Hidup itu seharusnya biarkan saja mengalir, dan hargailah hidup ini dengan memahami sebagaimana Tuhan menghargai hidup kita. Pertanyaannya, kapankah kita menghargai hidup? Kita menghargai hidup ketika Tuhan menjadi pusat kebahagiaan kita, bukannya harta, pangkat, jodoh atau apa pun, melainkan Tuhan saja yang menjadi pusat kehidupan kita. Sesungguhnya manusia dapat hidup tanpa apa pun atau siapa pun. Sebab itu saat ini juga katakan pada dirimu, bahwa saya tidak dapat hidup tanpa Tuhan!

Dalam ayat 28b dikatakan, “Tuhan ialah Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; ….. “ Alam semesta ini diciptakan-Nya untuk kita diami. Semua ciptaan-Nya adalah sempurna, dan dipersiapkan bagi umat manusia. Pemazmur mengatakan, Tuhan telah mempersiapkan semua berkat bagi yang dicintai-Nya, pada waktu mereka tidur (Mzm. 127:2b). Allah tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya, yaitu orang-orang yang telah dipilih dan dipanggil, untuk menerima berkat-berkat-Nya.

Minggu, 11 Januari 2009

MENJADI SERUPA DENGAN ALLAH

Setelah sekian lama kita menjadi orang Kristen, kita harus sungguh-sungguh menemukan jiwa kekristenan yang sejati, hakekat kekristenan yang benar yang harus kita miliki.

Bila kita belum memiliki jiwa kekristenan yang benar, maka kita belum menjadi anak Allah yang berkenan kepada-Nya. Lalu apa artinya kekristenan kita bila tidak ada jiwa atau intinya? Masihkah kita berjalan mengarungi hidup ini dengan kekristenan tanpa jiwa kekristenan? Puaskah kita dengan pengalaman-pengalaman keagamaan kita yang kadang justru membuat kita menjadi angkuh di hadapan manusia dan di hadapan Tuhan. Pergi ke gereja, mengikuti liturgi atau misa, mengucapkan pengakuan iman di gereja, menyanyikan lagu-lagu rohani belumlah inti dari kekristenan itu sendiri.

Adalah kebodohan kalau seseorang merasa sudah menjadi umat Allah yang benar dan layak bagi-Nya hanya karena sudah melakukan kegiatan keagamaan seperti yang disinggung di atas. Semua itu hanyalah atribut lahiriah atau semacam baju luar saja. Tentu itu belum merupakan inti kekristenan. Bahkan pengalaman mujizat atau mengalami kuasa Tuhan bukan atau belumlah menjadi inti kekristenan yang sejati. Perlakuan istimewa Tuhan kepada kita yang menunjukkan bahwa kita adalah umat kesayangan-Nya, tidak bisa dijadikan ukuran bahwa kita adalah umat kesukaan-Nya.

Inti kekristenan pada hakekatnya adalah warna batin yang terus menerus diperbaharui untuk menjadi sewarna dengan Bapa. Maksud sewarna dengan Bapa adalah berkepribadian seperti Allah yang melahirkan kita. Jiwa atau inti kekristenan atau hakekat kekristenan yang sejati dapat kita peroleh melalui apa yang ditulis oleh Yohanes dalam Yohanes 1:13, “orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.” Ayat ini tidak boleh kita lalui begitu saja dan kita anggap tidak penting. Berangkat dari ayat ini kita menemukan maksud dan tujuan Tuhan dalam memilih kita. Di dalam ayat ini juga terkandung berita tentang rencana Allah yang kekal dan besar bagi umat pilihan-Nya.

Dilahirkan oleh Allah, ini adalah suatu peristiwa besar dalam kehidupan manusia dan lebih luar biasa dari kelahiran anak manusia secara fisik. Dalam teks bahasa Inggris versi King James: Which were born, not of blood, nor of the will of the flesh, nor of the will of man but God. Kata dilahirkan dalam teks aslinya adalah “egenneetheesan” kata ini dari akar kata gennao, yang bisa diterjemahkan be born, bring forth, conceive, be delivered of, gender, make, spring, yang pada intinya adalah bahwa kita telah diubah dengan nature yang berbeda dengan nature manusia pada umumnya.

Dilahirkan oleh Allah meliputi dua aspek : Pertama, kita diberi wewenang untuk memiliki apa yang disediakan Allah bagi pewaris-pewarisNya, yaitu kerajaanNya. Kedua, kita diberi kemampuan untuk berwatak atau berkarakter seperti Dia. Hal ini berati bahwa kita diberi kemampuan untuk menjadi serupa dengan Bapa setelah Allah mensahkan kita menjadi anak-anak-Nya.

Ini merupakan sebuah peristiwa besar, sebab dalam Perjanjian Lama kita tidak menemukan peristiwa besar seperti ini, juga dalam kepercayaan lain di dunia ini. Kelahiran dari atas ini terjadi ketika kita percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi. Tidak ada mujizat yang besar dari ini. Kesungguhan Allah mengadopsi kita ini, Ia memberikan Roh-Nya didalam diri kita. “Di dalam Dia kamu juga -- karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu -- di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.” (Ef 1:13). Dimeteraikan artinya distempel (Yun.esfragistheete, lengkapnya: esfragistheete too pneumati tees epangelias too hagio. Ingg: you were sealed with that holy spirit of promise).

Kejadian ini suatu peristiwa luar biasa yang menjadi titik tolak pengiringan kita kepada Tuhan. Titik tolak kita bukan karena kita mau memeluk suatu keyakinan agama. Bukan pula karena kita mau memiliki petualangan baru dalam hidup, yaitu memiliki sumber baru guna memperoleh kemudahan hidup, dalam hal ini kekristenan dan Tuhan menjadi alat memuaskan ambisi kita. Kekristenan menjadi kendaraan kita memenuhi maksud dan rencana Tuhan.

Sebenarnya maksud dan rencana Tuhan adalah menciptakan manusia yang berkualitas seperti diri-Nya. Untuk itu dalam kelahiran dari atas oleh Allah itu, Bapa memberikan kemampuan kepada kita untuk memenuhi kehendak-Nya. Kemampuan ini suatu anugerah yang lebih dari segala berkat yang bisa kita terima dari Tuhan. Kemampuan inilah yang harus dikembangkan atau dimanfaatkan agar encana-Nya digenapi dalam hidup kita masing-masing. Kemampuan inilah yang tidak dimiliki tokoh-tokoh iman dalam Perjanjian Lama.

Dengan cara inilah kita dipanggil untuk sempurna (bnd. Mat 5:48: Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna). Perhatikan kata haruslah dalam ayat ini. Kata haruslah (Yn. esomai, yang juga dapat diterjemakan “hendaknya”) merupakan sebuah panggilan yang mutlak yang harus mengisi perjalanan hidup kita. Hal ini merupakan keharusan yang tidak boleh kita hindari. Hal yang lain bisa dihindari atau dikurangi intensitasnya, tetapi hal menjadi serupa dengan Bapa merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar.

Apalah artinya kelahiran seorang anak manusia apabila pada akhirnya ia tidak memiliki persekutuan dengan Tuhan dan dibuang kedalam api kekal. Lebih baik seseorang tidak pernah dilahirkan di dunia ini dari pada dilahirkan di dunia ini hanya untuk menjadi sekutu kuasa dunia dan memberontak kepada Tuhan. Apa artinya kelahiran kalau hanya menjadi permulaan dari kebinasaan kekal. Hidup terpisah dari hadirat Tuhan selama-lamanya.

Menjadi kehendak Bapa dalam hidup kita adalah kita bertumbuh menyerupai Dia. Inilah inti kekristenan itu. Tidak ada yang lebih besar dari hal ini. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata: Kamu harus sempurna seperti Bapamu yang di sorga sempurna (Mat 5:48). Rasul Paulus menulis hal ini dalam Roma 8:29 : Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Tuhan Yesus yang adalah wujud Allah yang kelihatan menjadi cermin yang jelas bagi kita. Kita harus meneladani-Nya.

Oleh sebab itu, marilah kita kembali kepada maksud Tuhan yang agung ini dan memfokuskan diri kepada rencana agung-Nya. Jangan hanya terpaku pada usaha mengejar berkat-berkat Allah belaka, tetapi mengabaikan tujuan yang sesungguhnya dari karya Allah atas hidup kita, yaitu menjadi serupa dengan Allah. Mari kita terus mengejar inti kekristenan ini dan menjadikannya tujuan yang utama dalam kehidupan kita. Amin..

JALAN YANG SUKAR

Dewasa ini muncul berbagai pengajaran yang menyatakan secara langsung maupun tidak langsung, bahwa kekristenan adalah jalan yang mudah.

Jalan yang berlimpah berkat, rahmat, sukacita dan berbagai kemudahan dalam hidup. Memang kekristenan adalah jalan yang terbaik, tetapi bukan jalan yang gampang. Pengajaran yang menekankan bahwa kekristenan adalah jalan yang mudah memiliki dampak yang negatif bagi umat Tuhan:

Umat Tuhan cenderung duniawi

Kekristenan yang diajarkan sebagai jalan yang mudah, pada umumnya menekankan hal-hal duniawi. Kekristenan dan kuasa Allah menjadi sarana untuk memperoleh kekayaan dunia dan pemuasan ambisi manusia. Kekristenan semacam ini biasanya adalah kekristenan yang bertendensi hendak mengatur dan menjadikan Tuhan “kuda tanggangan” semata-mata. Gereja yang mengajarkan pola ajaran ini kemungkinan besar akan banyak dikunjungi orang.

Orang Kristen yang menerima Injil dengan kadar rendah ini memiliki kecenderungan kurang mengabdi kepada Tuhan. Mengiring Tuhan hanya karena keuntungan pribadi. Kalaupun mereka hendak berbuat sesuatu bagi Tuhan, mereka suka berbuat hanya untuk gereja, sebab ada berkat di balik memberi bagi gereja. Dalam hal ini, persembahan disejajarkan dengan mata kail. Memberi umpan sedikit supaya mendapat ikan yang besar, memberi harta sedikit supaya mendapat berkat yang lebih besar dari Tuhan.

Anak Tuhan seperti ini biasanya kurang memberi dan memperhatikan sesamanya. Mereka memberi hanya karena mau “barter” dengan Tuhan.

Pelayan Tuhan yang mengajar-kan bahwa mengikut Yesus adalah jalan yang mudah, secara tidak langsung telah membawa jemaat Tuhan menjadi kerdil, kekanak- kanakan dan kurang bertumbuh. Bila terjadi demikian, maka cinta jemaat terhadap dunia tidak menjadi surut. Sebagai akibatnya, hati jemaat cenderung kurang merindukan Yesus dan kerajaan-Nya (bnd. Yoh 3:31; Kol 3:1- 4). Bila ini yang terjadi, maka sia-sialah Tuhan memanggil kita untuk menjadi warga Kerajaan Sorga, bila hati dan tujuan hidup kita hanya mengarah di bumi. Pada segala sesuatu yang akan binasa (2 Pet 3:12 bnd. I Yoh 2:15).

Umat Tuhan tidak sungguh-sungguh belajar kebenaran Tuhan guna mencapai tingkat rohani yang lebih tinggi

Dengan demikian jemaat menjadi malas untuk bertumbuh menuju ke kedewasaan. Bisa timbul kepuasan rohani yang mengakibatkan seseorang sombong rohani (bnd. Wah 3:17). Seorang yang merasa puas dengan hidup kerohaniannya cenderung haus dengan hal-hal duniawi. Tetapi kalau seseorang haus dan lapar akan kebenaran Allah, yaitu hal-hal rohani, maka ia akan cenderung puas dengan hal-hal duniawi. Ia akan mudah untuk mengucap syukur kepada Allah, apapun dan bagaimanapun keadaannya.

Dalam berbagai kesempatan, Tuhan Yesus menjelaskan bahwa mengiring Tuhan tidak mudah. Mengiring Tuhan adalah jalan yang sukar. Kebenaran ini dinyatakan Tuhan melalui beberapa penjelasan berikut ini:

Matius 7:13-14
“Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebiasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya."

Ayat ini berbicara mengenai jalan lebar dan jalan sempit. Dalam kehidupan ini ada dua jalan. Jalan lebar adalah jalan mudah yang membawa manusia menuju kebinasaan dan kematian kekal. Mereka ini adalah orang-orang yang mau “nikmat hidup” dengan dunia. Mereka adalah kelompok orang yang hendak menyelamatkan nyawa mereka sendiri (Mat 10:39; 16:25; Mark 8:35; Luk 9:24; 17:33; Yoh 12:25).

Jalan menuju kehidupan kekal adalah jalan yang sempit, sesak, sukar, banyak rintangan dan sedikit orang yang mau masuk melaluinya. Ini adalah jalan yang tidak disukai orang. Ini adalah jalan yang penuh resiko. Tetapi inilah jalan yang benar yang menuju kepada kehidupan dan kebahagiaan yang kekal bersama dengan Bapa. Oleh sebab itu adalah salah kalau kita mengajarkan bahwa mengiring Tuhan itu adalah jalan yang mudah. Kepada jemaat Tuhan harus ditegaskan berulang-ulang bahwa mengiring Tuhan itu berarti sama halnya berjalan di jalan yang sukar, penuh rintangan dan resiko, dalam pergumulan yang tidak pernah usai.

Lukas 14:28-33
Perumpamaan yang Tuhan Yesus sajikan mengenai orang yang membangun menara dan raja yang maju berperang, hendak menjelaskan kepada kita bahwa mengiring Tuhan bukan hal yang gampang. Mahal harganya. Harus dipertimbangkan dengan serius.

Oleh sebab itu kekristenan harus ditawarkan secara benar. Jangan seperti iklan-iklan di layar TV yang sering kali berisi kebohongan-kebohongan atas produk yang ditawarkan. Injil harus diberitakan secara benar dan lengkap. Injil yang bermutu adalah Injil yang diberitakan secara lengkap.

Orang-orang bukan saja dipanggil untuk menjadi orang percaya yang menikmati keselamatan jiwa saja, tetapi mereka dipanggil pula untuk “mengikut Yesus” sebagai murid. Untuk menekankan betapa tidak mudahnya “pengiringan” itu, Tuhan menegaskan hitung dulu anggarannya. Menerima Yesus sebagai Juruselamat, gratis mendapat keselamatan, tetapi mengikut Yesus, harus membayar harga pengiringan itu.

Percaya Kepada Yesus Berarti Mengikut Dia
Orang yang dipanggil Tuhan adalah orang yang akan dilelahkan akibat keputusannya mengiring Yesus. Kelegaan yang diberikan Tuhan Yesus akan disusul dengan “kuk” (Mat 11:28-30). Hal ini menjadi rencana Tuhan bahwa orang-orang yang dipanggil itu juga dimuridkan. Menjadi murid seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah seseorang yang sedang berguru, seseorang yang harus belajar, bergumul dan dididik agar mengalami peningkatan. Proses ini sungguh-sungguh melelahkan. Namun demikian perlu kita beri isi yang benar terhadap kata kelelahan di sini.

Ini adalah kelelahan yang disertai sukacita, damai sejahtera Allah. Ini bukanlah “kelelahan” seperti yang diucapkan Yesus dalam Matius 11:28 - Marilah kepada-Ku, semua orang yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.

Menjadi anak Tuhan itu berarti lepas dari kelelahan yang membinasakan (Mat 11:28), masuk ke dalam kelelahan yang membawa kenikmatan dan kehidupan. Lepas dari satu kelelahan masuk ke dalam kelelahan yang lain. Kelelahan yang pertama disebabkan oleh dosa dan berbagai kutuk penderitaannya, tetapi kelelahan yang kedua ini adalah kelelahan kuk dari Allah. Kelelahan yang kedua membawa kita pada kehidupan dan anugerah Allah.

Seseorang barulah dapat disebut pengikut Yesus kalau orang tersebut mengalami keselamatan dari Allah dan memberi diri dimuridkan. Penolakan terhadap proses pemuridan ini berarti penolakan mengikut Yesus (bnd. Luk 9:57-58; Yoh 13:13-15). Dalam kedua perikop ini, Tuhan Yesus menunjukkan bahwa setiap orang percaya harus mengikuti jejak-Nya. Apa yang Yesus dapat perbuat, orang percaya juga dapat lakukan (Yoh 14:12). Ini bukan saja menyangkut kuasa dan mujizat yang sudah dilakukan-Nya, tetapi juga menyangkut kehidupan Tuhan Yesus yang harus diteladani.

Mengikut Yesus berarti meniru jejak-Nya. Jejak di sini adalah seluruh kehidupan-Nya, pola hidup dan tindakan-Nya. Jadi kalau ada seseorang mengaku mengikut Yesus tetapi tidak mengikuti jejak-Nya, ia telah berdusta terhadap orang lain dan dirinya sendiri. Dalam hal ini, ternyata banyak orang Kristen yang tertipu oleh pola pikirnya sendiri. Ada orang-orang Kristen yang merasa bahwa kalau ia menjadi orang Kristen itu berarti sudah mengikut Yesus. Belum tentu.

Tidak semua orang Kristen adalah pengikut Kristus. Lihat bagaimana hidup dan motivasi-motivasi pengiringannya. Pengikut Kristus adalah orang-orang yang rela menderita untuk Tuhan dan orang lain. Pengikut Kristus adalah orang-orang yang bersedia direndahkan asal nama Tuhan ditinggikan. Pengikut Kristus adalah orang-orang yang rela kehilangan nyawanya, bukan yang takut kehilangan nyawanya, entah itu karena kemiskinan, kelaparan atau berbagai kesulitan hidup dan penganiayaan dunia ini. Pengikut Kristus berarti mau berjalan di jalan yang sempit dan sukar, penuh kerikil tajam dan duri yang membuatnya tidak nyaman, seperti halnya Kristus telah melaluinya selama ia melayani di dunia.